Minggu, 20 Oktober 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang paling utama yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini untuk memakmurkan, memelihara, mengelolah, memanfaatkan dan menyelenggarakan kehidupan di muka bumi ini dalam rangka pengapdian kepada Allah SWT itu tidak putus, maka manusia dibekali keinginan terhadap lawan jenis dan saling membutuhkan untuk menumpahkan rasa kasih sayang sekaligus sebagai realisasi penyaluran kebutuhan biologisnya.
Perkawinan merupakan jalan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera yang diridhoi dan diberkahi oleh Allah SWT. Perkawinan juga merupakan sunnah Rasulullah SAW, dimana sebagai umatnya kita harus mengikuti.
1.2 Rumusan Masalah
berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana pengertian perkawinan menurut islam ?
  2. Bagaimana tujuan perkawinan ?
  3. Bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga ?

3.Tujuan Penulisan
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penulisan ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
  1. untuk mengetahui peranan perkawinan dalam kehidupan
  2. untuk mengetahui tujuan dari pernikahan
  3. untuk mengetahui hikmah pernikahan
4.Dasar Pandangan
Sebagaimana hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT dalam ( Q.S Ar-Rum:21) yang artinya:
“ Dan di antara kebesaran-Nya adalah dikaruniakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tentram denganya dan Allah menciptakan di antara keduanya perasaan cinta dan kasih sayang sesungguhnya yang demikian itu adalah menjadi bukti bagi mereka yang mau berfikir.”
Sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits (H.R. Muttafaq'alih) yang artinya :
“ hai para pemuda barang siapa di antara kamu yang telah sanggup menikah maka hendaklah menikah. Karena sesungguhnya nikah itu dapat mencegah dari memandang barang haram dan menjaga kesucian kemaluan. Sedangkan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya.
1.5 Metode Penulisan
Dalam metode penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kualitatif dan studi pustaka yang dilakukan dengan menerangkan segala sesuatu tentang Pernikahan.
BAB II
PERNIKAHAN

    1. Hukum Islam Tentang Pernikahan
2.1.1 Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi” .
2.1.2 Islam Tidak Menyukai Membujang
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.”
       Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”

2.1.3 Kedudukan Perkawinan dalam Islam
-          Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon isterinya.
-          Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
-          Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
-          Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
-          Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah.

Tujuan Perkawinan dalam Islam
 1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. 
 2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
 3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “
       Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
 5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman : “Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Hikmah Perkahwinan
• cara yang halal untuk menyalurkanm nafsu seks.
• Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
• Memelihara kesucian diri
• Melaksanakan tuntutan syariat
• Menjaga keturunan
• Sebagai media pendidikan:
• Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
• Dapat mengeratkan silaturahim
2.2 Tata Cara Perkawinan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
  1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi).
    1. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
a) Syarat ijab
• Pernikahan nikah hendaklah tepat
• Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
• Diucapkan oleh wali atau wakilnya
• Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah.
• Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau dengan Delia binti Munif dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak Rp. 300.000 tunai".
b) Syarat qabul
• Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
• Tiada perkataan sindiran
• Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
• Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah
kontrak)
• Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
• Menyebut nama calon isteri
• Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebuatan qabul(akan dilafazkan oleh calon suami) : "Aku terima nikah/perkahwinanku dengan Delia binti Munifdengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak Rp. 300.000 tunai" ATAU "Aku terima Delia binti Munif sebagai isteriku".
c. Adanya Mahar .
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman: “Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”.
Jenis mahar
• Mahar misil : mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah berkahwin sebelumnya
• Mahar muthamma : mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.
d. Adanya Wali.
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
1.Syarat wali
• Islam, bukan kafir dan murtad
• Lelaki dan bukannya perempuan
• Baligh
• Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
• Bukan dalam ihram haji atau umrah
• Tidak fasik
• Tidak cacat akal fikiran, terlalu tua dan sebagainya
• Merdeka
• Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
Jenis-jenis wali
• Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak(sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon isteri yang hendak dikahwinkan)
• Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi wali
• Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susuna tersebut jika tiada yang terdekat lagi.
• Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

e. Adanya Saksi-saksi.
1. Syarat-syarat saksi
• Sekurang-kurangya dua orang
• Islam
• Berakal
• Baligh
• Lelaki
• Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
• Boleh mendengar, melihat dan bercakap
• Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
• Merdeka
  1. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” .
Sebab Haram Nikah
• Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) dan ia dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Diharamkan kepada kamu mengahwini ibu kamu, anak kamu, adik-beradik kamu, ibu saudara sebelah bapak, emak saudara sebelah ibu, anak saudara perempuan bagi adik-beradik lelaki, dan anak saudara perempuan bagi adik-beradik perempuan.” :
o Ibu
o Nenek sebelah ibu mahupun bapa
o Anak perempuan & keturunannya
o Adik-beradik perempuan seibu sebapa atau sebapa atau seibu
o Anak perempuan kepada adik-beradik lelaki mahupun perempuan, iaitu semua anak saudara perempuan
o Emak saudara sebelah bapa (adik-beradik bapa)
o Emak saudara sebelah ibu (adik-beradik ibu)
• Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan oleh susuan ialah:
o Ibu susuan
o Nenek dari sebelah ibu susuan
o Adik-beradik perempuan susuan
o Anak perempuan kepada adik-beradik susuan lelaki atau perempuan
o Emak saudara sebelah ibu susuan atau bapa susuan
• Perempuan mahram bagi lelaki kerana persemendaan ialah:
o Ibu mertua dan ke atas
o Ibu tiri
o Nenek tiri
o Menantu perempuan
o Anak tiri perempuan dan keturunannya
o Adik ipar perempuan dan keturunannya
o Emak saudara kepada isteri
• Anak saudara perempuan kepada isteri dan keturunannya
2.3 Tujuan dan Hikmah Pernikahan Menurut Islam
Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan perkawinan (pernikahan) adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah:, yaitu rumahtangga yang tenteram, penuh kasih sayang, serta bahagia lahir dan batin.
Rumusan ini sesuai dengan firman Allah SWT :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21)
Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah.
Sejalan dengan tujuannya, perkawinan memiliki sejumlah hikmah atau keuntungan bagi orang yang melakukannya. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (3, Ajaran, Perkawinan halaman 66), serta menurut Sayid Sabiq, ulama fikih kontemporer (I. Istanha, Mesir, 1915) dalam bukunya Fiqh as-Sunnah, mengemukakan sebagai berikut :
1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
Bagi manusia, naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tenteram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21).
2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa’ (4): ayat 1)
Allah menjadikan bagi kamu isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?” (QS. An-Nahl (16): ayat 72)
3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak.
Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).
4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.
Tugas intern pengaturan rumahtangga termasuk memelihara dan mendidik anak yang umumnya menjadi tugas utama isteri dan tentunya harus bekerjasama dengan suami; mencari nafkah yang menjadi kewajiban suami dapat dibantu oleh istrinya; pengelolaan keuangan yang sebaiknya menjadi bagian dari isteri, namun dengan seijin suami dalam pembelanjaannya. Ini semua meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras, syukur, sabar, dan tawakal.
5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah : 
(1) persetujuan kedua belah pihak,
(2) mahar (mas kawin),
(3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.
Sedangkan rukun perkawinan adalah :
(1) calon suami,
(2) calon isteri,
(3) wali,
(4) saksi dan
(5) ijab kabul.
    1. Tata Cara Perkawinan Dalam Islam 
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih. Dalam kesempatan kali ini redaksi berupaya menyajikannya secara singkat dan seperlunya. Adapun Tata Cara atau Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai berikut: 

I. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi). 

II. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
III. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.  Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah). 
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (HR: [shahih] Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri). 

BAB III
PENUTUP
    1. Kesimpulan
Perkawinan adalah ikatan yang sangat penting, karena mengatur dan menata pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, dengan ijab kabul supaya pergaulannya syah. Dari perkawinan ini akan mendapatkan anak keturunan yang menjadi harapan setiap pasangan suami istri, sebab anak merupakan kelanjutan keturunan yang akan memberi pengaruh terhadap kehidupan umat di masa yang akan datang.

    1. Kritik dan Saran
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca


 RUANG LINGKUP USHUL FIQIH
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata " Ushul Fiqh " adalah kata yang berasal dari bahasaArab " Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh . Maksudnya, pengetahuan Fiqh itulahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an,Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh.Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'andan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudahmereka ( para Ulama Mujtahid ) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan danmenentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yangdisusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya
.Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum denganmempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungandengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supayadapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatuyang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya denganmempergunakan dalil.Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah  Adillah Syar'iyah(dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain darimembicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum  Adillah Syar'iyah Itu di lengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum denganmempergunakan masing-masing dalil itu.Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqhini meliputi:
a.      Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi  (wajib, sunnat,mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i  (sabab, syarat, mani', 'illat, shah,batal, azimah dan rukhshah).
b.      Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum ( mahkum fihi  ) sepertiapakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak,menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiriatau dipaksa, dan sebagainya.
c.       c.Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum ( mahkum 'alaihi  ) apakahpelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak,apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.      d.Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaanyang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usahamanusia yang pertama disebut awarid muktasabah , yang kedua disebut awarid samawiyah
        e .Masalah Istinbath dan istidlal  meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh,mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.f.Masalah ra'yu , ijtihad  , ittiba'  dan taqlid  ; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid,bahaya taqlid dan sebagainya.
        g. Masalah adillah syar'iyah , yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah,ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u manqablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
       h.  Masa'ah Rakyu dan qiyas ; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washfulmunasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaulfariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagaibentuk dan penyelesaiannya.Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwaperanan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmupembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya ,ilmu mantiq ,ilmu tafsir  , ilmu hadits ,tarikh tasyri'il islami  dan ilmu tauhid .Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya.
Istinbath dan istidlal 
akan menyimpan dari kaidahnya.Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembanganpelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orangmengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan ituorang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalammengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah adakemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapatmerumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-haridengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.Dengan Usul Fiqh :-Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembanganperadaban umat manusia.-Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.-Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umumdalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhanhidup manusia sepanjang zaman.-Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulumerumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apasaja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau merekamenemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukumAgama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur manayang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapat menjadi Mujtahid  , mereka dapat menjadi Muttabi'  yang baik, ( Muttabi'  ialah orang yangmengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengandemikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yangpenting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibukdengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
  Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidaksemua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
PENGERTIAN
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata
Ushul  dan kata  Fiqh ; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmuSyari'ah.Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul  dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah , sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertianushul bagi fiqh.Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl  yang menurut bahasa, berarti sesuatu yangdijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut,maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh .Sedangkan menurut istilah, ashl  dapat berarti dalil  , seperti dalam ungkapan yangdicontohkan oleh  Abu Hamid Hakim : Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!." 
Dan dapat pula berarti kaidah Kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalamungkapan sebagai berikut :Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dariketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman :"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".


METODE PENEMUAN HUKUM


A.    Pendahuluan
Konsep  penemuan  hukum  merupakan  teori  hukum  terbuka  yang  pada  pokoknya bahwa suatu   aturan yang  telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah  maknanya,  meskipun  tidak  ada  diubah  kata-katanya  guna  direlevasikan  dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang  tidak  jelas  bunyi  teks  suatu  undang-undang, maka  dalam metode  penemuan  hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi.
Memperhatikan  jenis-jenis  metode  penemuan  hukum  ataupun  metode  penerapan hukum  dalam  ilmu  hukum  Islam    (istinbath  al-hukm)  dan  penerapan  hukum  (tathbiq  al-hukm),  dalam  hukum  Islam  sebenarnya  tidak  jauh  berbeda  dengan  metode  penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode  yang  diberlakukan  dalam  suatu  negara menurut  hukum  Islam  yang  telah dikemukan  oleh  para  Juris  Islam  (fuqaha‟)  dan  sangat  mendasar  metode  yang  mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode seperti   dengan  metode  hermeneutika  maupun  dari  segi  bahasanya  yang  disebut  Ushul.

B.  Pengertian Motode Penemuan Hukum Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo penemuan hukum dipakai dengan  istilah “istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan  hukum dari  dalil,  jalan  istinbath ini  memberikan  kaidah-kaidah  yang  bertalian dengan  pengeluaran  hukum  dari  dalil.
Imam Al-Ghazali dalam  kitabnya  “Al-Mustashfa,  memasukan dalam  bab III dengan judul “Thuruqul  Istitsmar”.  Jika dilihat tujuan mempelajari  Ushul  Fiqh  maka  passwar  yang paling  penting  dalam  mempelajari  ilmu  tersebut  adalah  agar  dapat  mengetahui  dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah  lainnya.
Ahli  Ushul  Fiqh menetapkan  ketentuan  bahwa  untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.
1.      Kaidah syar‟iyyah
Yang dimaksud dengan kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟dalam  menetapkan  hukum  dan  tujuan  penetapan  hukum  bagi  subyek  hukum (mukallaf).
Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil,  tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
2.      Kaidah lughawiyah
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nyamaupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya  dapat  dijadikan  pedoman  dalam  menetapkan hukum.
Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh  ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam  ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran  atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan  memahami jiwa hukum  yang  terkandung  dalam  dalilnya, baik yang  menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.

Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh seiap orang yang ingin  berijtihad.
C.   Penemuan hukum
Penemuan hukum (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara/advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.
Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum  terhadap peristiwa konkret,  tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.


D.     Metode Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah  metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin :  yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ;  perolehan makna (al-talaqqi)  dan penyampaian  makna (al-tablig).
Dalam perkembangan hukum bayani  atau  setidak-tidaknya mendekati  sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna “mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan  juga  bertindak  sebagai penafsir.
Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi  mengerti, atau usaha mengalihkan diri  dari  bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang  kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih Penemuan hukum itu  selalu  berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara menerapkan dalam peristiwa konkrit.
Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum)  atau  kekosongan  undang-undang  (wet vacuum).
Sementara penciptaan hukum berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir/muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam  keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta‟wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan  dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟  ditujukan (dikhitobkan) pada terminology “hermeneutika Al-Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab ;  fassara atau  safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta‟wil  (al-ta‟wil)  sering  kali disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟.  Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese),  sedangkan al-ta‟wil lebih merupakan isnterprestasi dalam  (esoteric exegese)  yang berkaitan dengan makna  batin teks dan penafsiran metaforis terhadap  Al-Quran.
Dengan kata lain al-tafsir  suatu upaya untuk menyingkap sesuatu  yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta‟wil  kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna  sampai ke tujuan adalah gerak dinamis. Yang dalam bahasa hukum Islam  merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art pf interprestation)  “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau  peraturan perundang-undangan dan kapasitasnya menjadi objek yang  ditafsirkan.
Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa : teks hukum, peristiwa hukum,  fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).
Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam  bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.  Secara filosofis   metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya.
Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi  kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan. 
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus  :
Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum. Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalal sebuah ilmu atau seni menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan/bahasa langit, sehingga difahami oleh makhluk di bumi.Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan professional untuk menginterprestasikan dan membberikan makna kepada hukum atau metode memahami  terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan  isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum.
Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar  atau relevansi  dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka  pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.  Di bawah  ini dapat kita  lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1.      Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum mengambil  putusan (ex ante)  disebut  “heuristika”  yaitu  proses mencari  dan berfikir  yang  mendahului  tindakan  pengambilan  putusan  hukum.  Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post)  disebut “legitimasi” yang  berkenan dengan pembenaran dari putusan  yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan)  dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila  suatu  putusan hukum  tidak  bisa  diterima  oleh  forum  hukum,  maka  berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata  hanya penerapan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum  terhadap  peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk hukum.
2.      Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi. Metode  penemuan  hukum  ini mempunyai peran penting  bagi  para  pembuat undang-undang dan  peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan  sosialisasi hukum itu sarat dengan pekerjaan interprestasi atau  pemahaman hukum. Interperstasi itulah meruapakan ruh dari metode bayani.
3.      Ilmuwan hukum/Fuqahak. Ilmuwan/fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan kualitas hukum.
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan  ke dalam sebelas macam yaitu :
a.       Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa). Penafsiran kata-kata dalam  teks hukum sesuai kaidah bahasa dan  kaidah  hukum  tata bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu  teks/peraturan menurut bunyi kata-katanya dari hasil interprestasinya bisa  lebih mendalam dari  teks  aslinya,  sebuah kata dapat  mempunyai  berbagai  arti,  dalam  bahasa  fiqh  dikenal  dengan  kata-kata “musytarak‟.
b.      Interprestasi historis. Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya  harus menafsirkan  dengan  jalan  meneliti  sejarah  kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan hukum pembuat undang-undang (syari‟) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.
c.       Interprestasi sistematis. Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat  sebagai  bagian dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri,  tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang  lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
d.      Interprestasi sosiologis atau teologis. Secara sosiologis/teologis apabila makna peraturan/ayat dietapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan. Dalam interprestas ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting. Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong tangan bagi pencuri, postif hukum setiap  pencuri  potong tangan, namun kenyataan hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.
e.       Interprestasi komparatif. Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam  suatu negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab.
f.       Interperstasi futuristik. Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan  hukum  dengan  berpedoman  pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.
g.      Interperstasi restriktif. Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya,  tetapi kalau dibatasi menjadi  tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
h.      Interprestasi ekstensif. Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh di tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.
i.        Interprestasi otentik atau secara resmi. Dalam jenis interprestasi ini, qadhi  tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
j.        Interperstasi interdisipliner. Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih  dari  satu  cabang  ilmu  hukum. Sebagai  contoh,  interprestasi atas pasal  yang menyangkut  kejahatan “korupsi” hakim dapat  menafsirkan  ketentuan  pasal  ini  dalam  berbagai  sudut  pandang  yaitu  hukum pidana, administrasi negara dan perdata.
k.      Interprestasi multidisipliner. Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
B.     Metode Ta’lili
Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh membicarakan masalah„illah ketika membahas qiyas (analogy).  „Illah merupakan rukun qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila  tidak dapat ditentukan „illahnya. Setiap hukum ada „illah yang melatarbelakanginya.  „Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.  Defenisi  lain  dikemukakan  oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh :  „Illat  ialah  suatu  sifat  khas  yang  dipandang  sebagai  dasar dalam  penetapan  hukum.
Orang yang mengakui adanya „illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3 golongan :
1.      Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum  pasti memiliki „illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
2.      Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber‟illat,  kecuali ada dalil yang menentukan adanya „illat.
3.      Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya „illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya  tuntutan  pelayanan  hukum  dalam  kehidupan  umat  Islam.  Maka  banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu tidak  dalam  aplikasinya  pada  suatu  saat  dan  keadaan  tertentu,  ketentuan  hukum  yang disebutkan  dalam  nash  tidak  dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah „illat hukum atau kausa hukum.
Selama „illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika „illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fukahak melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan : “Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau tidak adanya. Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga „illat (kausa) yang melatarbelakanginya ; jika „illat ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk „illat hukum secara tepat.
Mengenai adanya kaitan antara  „illat dan hukum, para  fuqaha mazhab Zahiri  tidak dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui „illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan  hukum  nash menurut  apa  adanya.
Menetapkan adanya kaitan hukum dengan „illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan „illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui „illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terkadi kemudian. „Illat  sangat penting dan sangat menentukan  ada  atau  tidak  adanya  hukum  dalam kasus baru sangat  bergantung pada ada atau tidak adanya „illat pada kasus  tersebut.
Sehingga „illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif  (zhahir),  dapat  diketahui  dengan  jelas  dan  ada  tolak  ukurnya  (mundabith)  dan sesuai  dengan  ketentuan  hukum,  yang  eksistensinya merupakan  penentu  adanya  hukum.
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat  merupakan “tujuan  yang  dekat”  dan  dapat dijadikan  dasar  penetapan  hukum,  sedangkan  hikmat merupakan  “tujuan  yang  jauh”  dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud  dengan „illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat,  yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah,  larangan,  atau  keizinan, baik  keduanya  itu  zhahir  atau  tidak, mundhabith atau  tidak. Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya  hukum  dapat  ditetapkan berdasarkan hikmat,  tidak berdasarkan „illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan  antara metode  qiyas  dengan maqashid  al-syari‟at.
Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi „illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu.  Maslahat dalam „illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan  takmiliyyat,  dan  dari  sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid  al-syariat.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
„Illat adalah hal yang oleh “syari‟ (pembuat  aturan)  dijadikan  tempat  bersandar, tempat bergantung atau  petunjuk  adanya  ketentuan  hukum. „Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu „illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma‟ dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada  nash).„Illat  yang  diperoleh  dengan  dalil  naqli  dibagi  lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya itu „illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat yang diperoleh  hanya  dengan  isyarat,  yang  disebut  ima,  dan  yang  diperoleh  dari  adanya petunjuk sebab.
„Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :
a.       Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr.  Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai  sebagai „illat  hukum,  dan  sabr  adalah  meneliti  hal  yang  telah  dibatasi  dan dirasakan  sesuai  sebagi „illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan sebagai „illat dan mana yang harus diamblil atau ditetapkan.  Cara  ini merupakan  peluang  amat  luas  untuk  berijtihad  dan  amat  memungkinkan  terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
b.      Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji „illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat itu terhadap hukum bersangkutan. „Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-„illah al-munasibah. Al-„illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : „illat muatstsirah (membekas), „illat  mula-imah (sejalan), „illat gharibah (asing) dan „illat mursalah (lepas, bebas). Di bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu :
1)      Al-„illah al-munasab
„Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma‟ dan diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan  atas anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di bawah umur.
2)      Al-„illat mula-imah
„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai „illatnya. Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah  nash  lain mengenai masalah yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum yang bersangkutan.
3)      Al-„illat gharibah
„Illat  yang  diperoleh dari  nash,  tetapi  tidak  jelas  bahwa  „illat  itu  membekas pengaruhnya  terhadap  hukum  dan  tidak  ketahui  dengan  jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai  masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
4)      Al-„illat mursalah
„Illat  yang  tidak  terdapat  pendukungnya  dari  nash,  tetapi  dapat  diketahui  dari  jiwa ajaran Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik.Untuk menetapkannya  diperlukan  ketajaman  pandangan  dan  keluasan  cakrawala pemikiran  tentang  tujuan  dan  rahasia  hukum  Islam  khususnya  dan  ajaran  Islam umumnya.
Oleh karenanya „illah  adalah sifat yang jelas dan ada tolak  ukurnya, yang di dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi  bertanda  (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan  jelas bagi adanya hikmah.
E.    Metode Istislahi
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat  secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang  pertama  adalah maslahat  yang  diungkapkan  secara  langsung  baik  dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub  dalam  kedua  sumber  hukum  Islam  tersebut. Di antara kedua maslahat  tersebut,  ada  yang disebut  maslahat  mursalat  yakni  maslahat  yang  tidak ditetapkan  oleh kedua  sumber  tersebut  dan  tidak  pula  bertentangan  dengan  keduanya.
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan  al-mashlahat al-mursalat.
Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.  Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :
1.      Maslahat  tersebut  bersifat  reasonable  (ma‟qul)  dan  relevan  (munasib)  dengan  kasus hukum yang ditetapkan.
2.      Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf‟u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
3.      Maslahat  tersebut  harus  sesuai  dengan  maksud  disyari‟atkan   hukum  (maqashid al-syari‟at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.
a.       Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa  untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut. Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan  oleh  al-Syari‟  sebagai  dasar  penetapan  hukum,  tidak  pula  ada dalil syar‟i yang menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya.
b.      Kemaslahatan itu bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar  telah  diyakini  sebagai  maslahat  tidak  didasarkan  pada  dugaan  (zhan)  semata-mata.
c.       Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif,  tidak  bersifat  individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syari‟at.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai  dengan  tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan.
Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika  terdapat  suatu  kejadian  yang  tidak  ada ketentuan  syari‟at dan  tidak ada  „illat yang keluar dari  syara‟ yang menentukan kejelasan hukum kejadian  tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara‟. Proses seperti itu disebut istislah  (menggali dan menetapkan  suatu masalah).
Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya  terdapat  tujuan  secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya  adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash ’syara‟ yang tidak  merupakan dalil  tambahan terhadap nash syara‟,  tetapi  ia  tidak  keluar  dari  nash syara‟. Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qathi‟iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara‟, walaupun dalam penetapannya zhani.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum  dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang  tidak  terdapat  dalam nash,  baik  dalam Al Quran maupun As Sunnah  yang menjelaskan hukum-hukum yang  ada penguatnya melalui suatu i‟tibar.  Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal  iu  tidak  dijelaskan  oleh  nash  dan  ijmak, melainkan  didasarkan  atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Quran.
F. Penutup

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
2.      Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan, ta‟lili dan istislahi.
3.      Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman terhadap teks.
4.      Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan „illat-„illat dalam suatu masalah.
5.      Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum  yang  stresingnya lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.





Daftar Rujukan/Pustaka

·         Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum, Jakarta, 2000.
·         Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II,  Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.
·         Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.
·         Basyir,  Ahmad  Azhar,  Pokok-Pokok  Persoalan  Filsafat  Hukum  Islam,  UII  Pres Yogyakarta, 1984.
·         Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997.
·         Djazuli, A,  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum  Islam,   Cet. 5, Edisi Revisi, Prebada Media,  Jakarta, 2005.