**
Gunakan Waktu Sebanyak-banyaknya Untuk **
Belajar Agama, Beribadah dan Berdoa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dengan hikmah-Nya yang sempurna dan keadilan-Nya menjadikan dunia yang
fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya. Inilah yang
diberitakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:
“Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha pengampun.” (Al-Mulk: 2)
Mereka dihadapkan pada berbagai
ujian (fitnah) dan cobaan. Di antaranya adalah (ujian) harta, sehingga ada
sebagian orang yang kaya dan ada yang miskin. Juga tahta sehingga di
antara mereka ada yang menjadi pejabat dan ada yang menjadi rakyat.Dan ujian
berupa ilmu, maka di antara mereka ada yang berilmu dan ada yang tidak berilmu
(jahil/bodoh). Dan masih banyak lagi berbagai fitnah (ujian) di dunia ini.
Hal ini sebagaimana yang Allah
Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:
“Dan Kami jadikan
sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah
Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Dengan adanya berbagai ujian
dan cobaan itu, kita pun menyaksikan sebagian orang berjatuhan. Kita
senantiasa memohon hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala keselamatan dari
berbagai fitnah (ujian dan godaan). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah, bahwa
mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (At-Taubah: 49)
Sehingga, terpilahlah
hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan, ash-shadiqun (orang-orang yang
benar/jujur) dan al-kadzibun (orang-orang yang berdusta). Sebagaimana yang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala beritakan:
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: “ Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut:
1-3)
Lalu, siapakah orang yang akan
selamat tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sehingga dia berhak
mendapatkan janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dunia dan di akhirat?
Jawabannya, mereka pastilah orang-orang yang mendapatkan keutamaan dan rahmat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“Maka kalau tidak
karena karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang
yang rugi.” (Al-Baqarah: 64)
“Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah atasmu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali
sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya, bila bukan karena hidayah
taufiq yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala karuniakan kepada kalian, juga tuntunan
adab dan ilmu yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala ajarkan kepada kalian –di mana
kalian sebelumnya tidak mengetahuinya– niscaya kalian akan mengikuti setan
kecuali sedikit saja di antara kalian yang selamat. Karena tabiat asli manusia
adalah zalim dan jahil, sehingga tidaklah jiwa memerintahkan kecuali kepada
yang jelek.”
Apabila dia meminta
perlindungan kepada Rabbnya dan berpegang teguh dengan-Nya, serta
bersungguh-sungguh dalam hal itu, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan
merahmatinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi hidayah kepadanya untuk
melakukan berbagai kebaikan dan melindunginya dari tipu daya setan yang
terkutuk.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah mengatakan:
‘’Fitnah
(ujian/godaan) itu banyak jumlahnya dan bermacam-macam bentuknya. Dia datang
silih-berganti dari waktu ke waktu. Seorang muslim yang berpegang teguh dengan
agamanya senantiasa akan menghadapi berbagai ujian itu.Barangsiapa yang selamat
dari berbagai macam fitnah (ujian), berarti dia memiliki dua hal yang agung,
yaitu keutamaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dilimpahkan kepadanya dan
mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman kepada para sahabat setelah tersebarnya haditsul ifk (berita
keji dan dusta) terhadap Ummul Mukminin Aisyah rah:
“Sekiranya tidaklah
karena karunia Allah dan rahmat-Nya atas kamu sekalian, niscaya tidak seorang
pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)
Selanjutnya berkata: “Alangkah
nikmatnya orang yang diberi hidayah taufiq untuk menjauhi berbagai fitnah, baik
yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12)
Demikianlah. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:
“Sesungguhnya orang
yang bahagia adalah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, dan barangsiapa yang
diuji lalu bersabar, maka betapa indahnya.”
Di antara upaya yang bisa
ditempuh agar seorang muslim selamat dari berbagai fitnah adalah:
1. Menyibukkan diri dengan menuntut ilmu (belajar Islam)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam bersabda:
“Barangsiapa yang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan
menjadikannya paham dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah z)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata:
“Yang dapat dipahami dari hadits ini adalah barangsiapa yang tidak berusaha
untuk mempelajari agama, di mana dia tidak mempelajari kaidah-kaidah yang ada
di dalamnya, juga tidak mempelajari segala sesuatu yang terkait dengannya
berupa berbagai permasalahan cabangnya, sungguh dia telah diharamkan
(terhalang) dari kebaikan.” (Fathul Bari 1/165)
Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh
Muqbil mengatakan: “Termasuk pengarahan orangtuaku (yakni Asy-Syaikh Muqbil t)
adalah ‘Bersungguh-sungguhlah kalian dalam belajar, sebelum datangnya hal-hal
yang akan memalingkan kalian darinya.’ Dan kesibukan-kesibukan itu berbanding
terbalik dengan mencari ilmu, mengulangnya, terlebih lagi menghafalnya. Semakin
banyak kesibukan akan melemahkan ingatan. Oleh karena itulah, sebagian ulama
ketika menduduki jabatan hakim, seperti Syarik bin Abdillah An-Nakha’i t,
hafalannya menjadi jelek karena kesibukannya. Meskipun ada ulama lain yang
ketika menjabat justru semakin bertambah banyak ilmunya. Permasalahan apapun
yang dihadapkan kepadanya dia akan membahasnya, seperti Al-Imam Asy-Syaukani t.
Barakah itu hanyalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” (Nashihati lin
Nisa’ hal. 23)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah mengatakan: “Sesungguhnya, termasuk faedah mempelajari dan
memahami ilmu agama ini adalah berusaha menempuh jalan yang akan menyelamatkan
diri dari berbagai macam fitnah. Ini adalah keutamaan yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ala karuniakan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”
Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya keagungan agama Islam itu tersimpan dalam setiap ayat Al-Qur’an
dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam.
Sehingga tatkala umat Islam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sudah ada
jalan keluarnya di dalam ayat atau hadits tersebut. Bahkan, satu ayat atau
hadits, bisa mengandung lebih dari satu jalan keluar. Sungguh, Islam datang
membawa obat bagi setiap fitnah yang muncul, namun sedikit sekali orang yang
terobati dengannya.
Sebagai contoh, ketika
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam meninggal, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan sahabat, apakah pakaian yang dikenakan beliau harus dilepaskan ketika
dimandikan atau tidak. Tiba-tiba mereka mendengar perkataan “Jangan kalian
lucuti pakaian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam”, sehingga mereka tidak
melakukannya. Mereka juga berbeda pendapat tentang siapa yang akan menjadi
khalifah setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam meninggal. Abu Bakr z
kemudian berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:
“Quraisy adalah yang akan memegang urusan ini.” Sehingga para sahabat pun
menyerahkan kedudukan tersebut kepada Abu Bakr z, karena beliau dari Quraisy.
Perhatikanlah bagaimana
perbedaan di antara mereka dapat dengan mudah diselesaikan dengan
berdasarkan ilmu dan tunduk kepada dalil serta penjelasan yang syar’i. Sehingga
menuntut ilmu dan memahaminya adalah dasar atau fondasi setiap kebaikan. Hanya
saja, menuntut ilmu dilakukan kepada ahlul ilmi yang lurus aqidahnya,
selamat manhajnya, dan bagus niatnya. Kemudian, memilih kitab-kitab yang baik
dan guru yang cerdas dalam memahami agama. Inilah hal-hal yang dicari oleh
setiap orang yang mencari kebenaran.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 26-27)
2. Menyibukkan diri dengan ibadah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan bersegeralah
kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam bersabda:
“Bersegeralah kalian
beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang seperti
potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan
beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore hari
dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia menjual
agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah z)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah berkata: “Bila setiap muslim menyibukkan diri dengan ibadah
sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki, niscaya tidak ada waktu
yang terbuang sia-sia untuk terlibat dalam fitnah, berdebat dan
berbantah-bantahan.Benarlah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam ketika bersabda:
“Ada dua kenikmatan
yang kebanyakan manusia tertipu padanya (terbuang sia-sia): nikmat kesehatan
dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas c)
Beliau hafizhahullah juga
berkata: “Kata ibadah di sini mencakup seluruh jenis ibadah, seperti
kejujuran, keikhlasan, perasaan dekat (diawasi) oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
takwa, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, sabar, teguh di atas
kebenaran, komitmen dalam belajar dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat.
Demikian pula amalan shalih yang lain seperti shalat dan puasa, dalam hal
muamalah maupun akhlak, serta macam-macam ibadah lainnya.” (At-Tanbihul
Hasan hal. 12)
Hal ini termasuk terapi yang sangat baik.
Demikian juga upaya untuk mengajarkan
hal-hal yang bermanfaat bagi umat manusia. Bila semua orang menyibukkan diri
dengan amalan masing-masing, niscaya tidak akan terjadi fitnah, seperti
demonstrasi dan penggulingan kekuasaan. Semua ini adalah fitnah. Maka, alangkah
agungnya terapi yang syar’i ini dan alangkah sedikitnya orang yang bisa
mengambil manfaat darinya. (At-Tanbihul Hasan, hal. 14)
3. Menyibukkan Diri Dengan Belajar Agama (Banyak Berguru dan
Bertanya kepada ahlul ilmi /ulama)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga
berfirman:
“Dan apabila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali
sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
t berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah tuntunan adab dari
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya terhadap sikap mereka yang tidak
sepantasnya ini. Selayaknya, apabila suatu berita yang penting atau terkait
dengan kepentingan umat sampai kepada mereka –seperti berita yang berkaitan
dengan keamanan, atau berita yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau
urusan yang dikhawatirkan akan menimpa mereka– hendaknya mereka memperjelas
kebenarannya terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka menyerahkan
urusan tersebut kepada Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (semasa hidup beliau)
atau menyerahkannya kepada ulim amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang
ahli menentukan pendapat, berilmu, penasihat, dan memiliki sikap tenang. Mereka
adalah orang-orang yang memahami urusan-urusan tersebut dan dampaknya yang
baik. Mereka juga orang-orang yang paham terhadap akibat jelek yang akan
ditimbulkannya.
Sehingga, apabila mereka
melihat kebaikan dan akan menggembirakan orang-orang yang beriman, atau justru
akan membangkitkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka
akan menyebarkannya. Namun apabila mereka melihat bahwa tidak ada kebaikan
untuk disebarkan, atau mengandung kebaikan bila disebarkan tetapi dampak
buruknya yang lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya.
Oleh karena itulah, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Maknanya, kata beliau t, mereka
akan berusaha mengeluarkan hukum atau keputusan dengan pikiran dan pendapat
yang tepat serta ilmu mereka yang mapan.
Dalam firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala ini terdapat dalil yang menunjukkan benarnya sebuah kaidah dalam adab,
yaitu apabila terjadi pembahasan sebuah masalah yang sangat penting, sudah
selayaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang-orang yang ahli di dalamnya,
dan tidak boleh ada yang mendahului mereka. Dengan cara ini, akan lebih
mendekati kebenaran dan lebih selamat.
Disamping itu, firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala ini juga mengandung larangan dari sikap tergesa-gesa dalam
menyebarkan berita setelah mendapatkannya. Yang diperintahkan justru untuk
memerhatikan dan meneliti lebih dahulu sebelum menyebarkannya, apakah berita
itu berupa kebaikan sehingga dapat disebarkan, ataukah sebaliknya.
Kemudian Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan,
kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”
Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, tuntunan dan ajaran terhadap hal-hal yang tidak kalian
ketahui sebelumnya, niscaya kalian akan mengikuti bisikan setan, kecuali
sedikit saja dari kalian yang selamat. (Taisir Al-Karimirrahman)
Namun, musibah bisa saja
terjadi sebagaimana yang diperingatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t: “Namun
sebagian penuntut ilmu merasa mantap atau cukup dengan sedikit ilmu yang dimilikinya.
Dia siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah
satu sebab yang akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Wallahul
musta’an.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah berkata: “Para penuntut ilmu adalah duta para ulama kepada umat
manusia. Hanya saja yang dicela di antara mereka adalah yang mendahului para
ulama serta merasa tidak membutuhkan arahan dan nasihat mereka, kemudian tidak
mau menimba ilmu dari para ulama.” (Bidayatul Inhiraf, hal. 437)
4. Menyibukkan Diri dengan Banyak Berdoa
Hakikatnya, seorang hamba
sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk, sehingga dia meminta dan mencarinya
(melalui berdoa, red). Dengan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
merasa sangat membutuhkan-Nya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan
menunjukinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hadits qudsi:
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali siapa
yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan
menunjukimu.” (HR. Muslim dari Abu Dzar z)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t
berkata: “Apabila seorang hamba merasa dirinya sangat membutuhkan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan senantiasa berusaha belajar / meneliti firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan
ucapan para sahabat nabi, tabi’in, serta para imam kaum muslimin, niscaya akan
terbuka baginya jalan petunjuk (hidayah).”(Majmu’ Fatawa, 5/118)
Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang telah jelas
baginya kebenaran dalam suatu urusan, hendaknya dia mengikutinya. Sedangkan
barangsiapa yang masih belum mendapatkan kejelasan hendaknya dia tidak bersikap
sampai Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan kejelasan kepadanya. Selayaknya
dia meminta pertolongan dalam urusan tersebut dengan berdoa kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Termasuk doa yang paling baik
dalam urusan tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam
Shahih-nya dari Aisyah radiyallahu anha, bahwa bila Nabi shalallahu alaihi
wasalam terbangun dari tidur malamnya, beliau lalu shalat dan berdoa
(dalam doa iftitahnya):
“Ya Allah, wahai
Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit
dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan
yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam
perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari
apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah
kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
t berkata: “Sesungguhnya orang yang meneliti dan membahas ilmu ketika
membutuhkannya untuk beramal atau berbicara, kemudian dia belum mendapatkan
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran setelah dia meniatkan mencarinya
dalam hatinya dan membahasnya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala
tidak akan mengecewakan orang yang seperti ini. Sebagaimana yang terjadi pada
Nabi Musa q ketika beliau bermaksud pergi ke kota Madyan padahal beliau tidak
tahu jalan ke arahnya. Beliau q berdoa:
“Mudah-mudahan
Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22)
Sungguh Allah ta’ala telah
membimbing beliau serta memberikan apa yang beliau harapkan dan cita-citakan.” (Taisir
Al-Lathifil Mannan, hal. 180)
Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata agar
kita senantiasa ditunjuki kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari
berbagai fitnah hingga datangnya ajal kita.
Amin ya Rabbal
alamin.
Wallahu A’lam
Bisshawwab ..................!!!!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar