Minggu, 07 Juli 2013

'' Bersatu dalam Mengawali Puasa & Lebaran ''

“Bersatu dalam Mengawali Puasa & Lebaran”


Polemik mana yang paling benar dalam penentuan awal puasa dan lebaran antara metode ru’yat ataukah hisab sudah berlangsung sejak lama. Anehnya, polemik tersebut terjadi belakangan, bukan di zaman Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam, bukan juga di era Sahabat. Jika demikian, seharusnya hal ini tidak pernah menjadi polemik apalagi perdebatan yang berkepanjangan. Tinggal mencontoh praktek Rasulullâh dan para Sahabatnya, selesai masalah.
Terkait standar penetapan awal bulan dalam hubungannya dengan ibadah puasa dan lebaran, Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam telah mengetok palu syari’at dalam sabdanya:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah kalian—di awal Ramadhân—dengan berpatokan pada hasil ru’yat hilal, dan berbukalah kalian—di awal Syawwâl—juga dengan acuan ru’yat hilal. Jika ru’yat hilal terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” [Shahih Bukhari: 1909]
Hadits tersebut menegaskan bahwa standar baku yang dipandang oleh syari’at dalam penentuan awal Ramadhân dan Syawwâl adalah dengan ru’yat hilal (melihat bulan sabit) pada tanggal 29 di bulan berjalan sesaat setelah matahari tenggelam. Jika hilal tidak terlihat—sekalipun telah wujud di atas ufuk, bahkan sekalipun hilal telah memungkinkan untuk dilihat namun terhalang oleh awan—maka bulan berjalan ditetapkan berumur 30 hari. Andaikata yang dimaksud ru’yat dalam hadits tersebut adalah ru’yat dengan ilmu hisab, tentu Nabi tidak akan memerintahkan untuk menyempurnakan bilangan bulan berjalan menjadi 30 hari jika hilal terhalang awan, beliau akan memerintahkan prosedur hisab, karena ilmu hisab sudah ada di zaman Nabi, dan di antara para Sahabat ada yang memiliki kemampuan menulis dan menghitung.
Pada zaman keemasan Islam bahkan, saat Kekhalifahan ‘Umar menaklukkan 2 negara adidaya dengan segenap ilmu pengetahuan dan peradabannya, yaitu Emperium Romawi dan Persia, ‘Umar bin Khath-thab radhiallâhu’anhu tetap berpedoman pada ketentuan Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Khalifah sebelumnya yang menggunakan metode ru’yat dalam penentuan awal Ramadhân dan Syawwâl (demikian pula dengan Dzulhijjah untuk ibadah haji). ‘Umar bin Khath-thab radhiallâhu’anhu tidak menggunakan hitung-hitungan astronomis Romawi yang sudah berkembang sangat pesat dan akurat pada era itu. Sangat mudah bagi ‘Umar untuk melakukan hisab, karena Romawi dan Persia sudah berada dalam genggaman kekuasaannya. Toh, beliau tidak melakukannya.

Ijma’ Sahabat

Praktek Rasulullâh, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan ‘Umar bin Khath-thab terkait metode ru’yat ini terus berjalan menjadi sebuah konsensus (ijma’) di mata para Sahabat seluruhnya, tanpa terkecuali seorang pun. Dalam perspektif ilmu Ushul Fiqih, hukum yang lahir dari sebuah ijma’—terlebih jika itu adalah ijma’ Sahabat—tidak akan mungkin menyimpang dari kebenaran. Itu mustahil, karena Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ ، وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

“Sesungguhnya mustahil bagi Allâh ta’âla untuk menjadikan ummatku berkumpul di atas kesesatan. Tangan Allâh bersama jamâ’ah.” [Shahihul Jâmi’: 1848]
Jangankan ijma’ di kalangan Sahabat, kalaupun mereka berselisih dalam suatu masalah syar’i menjadi dua kubu pendapat, orang-orang yang datang belakangan tidak dibenarkan untuk memunculkan pendapat ketiga yang keluar dari salah satu pendapat mereka dalam permasalahan yang sama [ar-Risâlah: 596, asy-Syaâfi’i] . Nah, kira-kira bagaimana jika para Sahabat bersepakat dalam satu pendapat terkait permasalahan syar’i? Tentu lebih terlarang lagi untuk menyelisihinya. Alasannya sederhana dan jelas; ijma’ adalah salah satu pijakan hukum yang ma’shum alias terpelihara dari kekeliruan. Ini sudah menjadi jaminan al-Qur’an dalam banyak ayatnya, tidak terkecuali Rasulullâh dalam banyak hadits-haditsnya.
Jika ijma’ tidak mungkin keliru, maka pendapat yang menyimpang atau menyelisihi ijma’ terkait suatu permasalahan, bisa dipastikan akan kekeliruannya. Dalam konteks tersebut, penggunaan metode hisab dalam kasus Ramadhân dan Syawwâl, bisa dikategorikan sebagai bentuk penyelisihan terhadap ijma’ para Sahabat.
Jika para pengusung metode hisab (wujudul hilal) mengakui bahwa metode ru’yat adalah metode yang benar pada masanya, namun perlu direvisi di zaman teknologi seperti saat ini (demi menghindari kesan telah menyelisihi ijma’), maka kami katakan; ‘lantas, kenapa mereka dalam prakteknya meninggalkan secara total metode ru’yat dengan jauh-jauh hari sudah menentukan kapan harus berpuasa dan kapan berlebaran? Bukankah itu adalah “bahasa tubuh” yang sangat jelas akan sebuah prinsip, bahwa metode ru’yat sudah tidak relevan dan tidak dibutuhkan lagi? Jika ini tidak dinamakan penyelisihan terhadap ijma’, maka kami tidak tahu lagi harus menamakannya apa’.
Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةِ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ

“Barangsiapa menginginkan kemegahan di surga yang paling tengah, hendaklah ia berpegang teguh dengan al-jamâ’ah (baca: ijma’).” [al-Mustadrak: 1/114, dishahihkan oleh al-Hâkim]
Menarik untuk direnungi manakala al-Imâm asy-Syâfi’i rahimahullâh dengan kecerdasan fiqihnya yang terkenal, memaknai kata “al-jamâ’ah” dalam hadits tersebut sebagai “al-ijma”. [ar-Risâlah: 475-476]

Di samping argumentasi ijma’…

para pengusung metode hisab kita harapkan bisa merenungi hadits Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam berikut ini:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.

“(Hari) berpuasa adalah adalah hari di mana kalian semua berpuasa, dan hari ‘Idul Fithri kalian adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul Fihtri, (demikian pula) hari ‘Idul Adh-ha kalian adalah hari di mana kalian semua melakukan ‘Idul Adh-ha.” [Lihat takhrij-nya di Silsilah ash-Shahihah no. 224, al-Albani]
Setelah membawakan hadits tersebut, Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan:

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ.

“Sebagian ‘ulama menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan: ‘Hadits ini memiliki pengertian bahwasanya puasa (Ramadhan) dan ‘Idul Fithri itu dilaksanakan bersama jama’ah (kaum muslimin) dan mayoritas manusia (bersama Ulil Amri-pent).”
Imam Muhammad bin Isma’il ash-Shan’aaniy rahimahullah (wafat: 1182-H) juga mengatakan dalam Subulus Salâm (1/425, Cet. Daarul Hadits):

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ

“Dalam hadits tersebut, terdapat dalil bahwa ketetapan waktu hari raya itu didasarkan pada apa yang disepakati oleh masyarakat (berdasarkan permakluman hasil ru’yat dari pemerintah-pent), dan orang yang mengaku telah melihat hilal secara menyendiri, tetap wajib bagi dia untuk mengikuti warga masyarakat (yang berhari raya bersama pemerintah-pent).

Mari sama-sama berharap

agar tahun ini secara serentak kaum muslimin—tanah air khususnya—berjama’ah dalam mengawali dan mengakhiri puasa. Karena memang, sebagaimana dijelaskan oleh para fuqahâ, bahwa yang namanya puasa Ramadhân dan I’dul Fithri, keduanya adalah ibadah jamâ’iyyah yang harus dilaksanakan bersama ulil amri (pemerintah kaum muslimin).
Dalam perannya sebagai payung ummat yang diistilahkan oleh Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan “zhilullâhi ‘alal ardh” (naungan Allâh di muka bumi), pemerintah muslim sejatinya adalah hakim yang bertugas mengurai simpul-simpul perselisihan pendapat lalu mengamputasi simpul yang bisa mengusik persatuan kaum muslimin. Keputusan hakim bersifat mengikat. Suka maupun tidak, wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersengketa. Keistimewaan inilah yang diungkapkan oleh ulama ushul dalam sebuah kaidah:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan hakim itu bersifat mengikat dan menuntaskan sengketa pendapat” [al-Asybâh wan Nazhâ-ir: 497, as-Suyuthi]
Terlebih lagi jika ulil amri kita di Indonesia mengambil metode yang disyari’atkan dalam penentuan awal Ramadhân dan Syawwâl, yaitu metode ru’yat hilal. Kebersamaan kaum muslimin dalam satu shaf di belakang ulil amri yang memerintahkan pada perkara yang didiamkan oleh syari’at saja sudah merupakan keharusan, apatah lagi jika perkara tersebut adalah sebuah kewajiban yang dituntunkan oleh syari’at. Ini sudah menjadi ikrar ideologi (baca: aqidah) di kalangan ahlussunnah wal jama’ah.
Dalam konteks tersebut, tidak ada alasan bagi para pengusung metode hisab atau metode lainnya selain ru’yat untuk bersikukuh menyelisihi ulil amri. Satu-satunya alasan yang mungkin adalah jika mereka menuduh ulil amri telah bermaksiat dalam penentuan awal puasa dan lebaran sehingga tidak boleh ditaati. Jika benar demikian, maka tuduhan tersebut secara tidak langsung juga mengarah pada Khulafâ-ur Râsyidin, para imam yang empat dan seluruh pemimpin kaum muslimin yang berpedoman pada ru’yat. Kami berbaik sangka mereka tidak akan beranggapan sejauh itu. Alhasil, sekali lagi tidak ada alasan untuk tidak mentaati ulil amri dalam masalah ini. Kalaupun ulil amri keliru dalam anggapan fanatikus hisab—dan itu mustahil secara syar’i selama prosedur ru’yat ditempuh dengan benar—toh yang menanggung beban kekeliruan tersebut adalah ulil amri selaku hakim, bukan kita.

Akhirul Kalâm,

kami ingin mengajak segenap kaum muslimin—tanah air khususnya—untuk bergabung dalam satu barisan persatuan Islam bersama ulil amri. Demi soliditas syi’ar persatuan Islam di Indonesia. Tinggalkan keragu-raguan. Dalam masalah ini, kita mengikuti ulil amri bukan karena tendensi politik ataupun uang, tapi semata-mata karena syari’at menyuruh demikian. Paling tidak, kelak di akhirat kita bisa terbebas dari pertanyaan “Kenapa engkau tidak mengikuti metode hisab?” karena memang hal tersebut tidak dibebankan oleh syari’at. Berbeda ceritanya dengan fanatikus metode hisab, besar kemungkinan mereka akan ditanya “Kenapa engkau tidak mengikuti ru’yat? Bukankah Rasulmu menuntunkan demikian?”. Sungguh tidak terbayangkan betapa beratnya menyiapkan jawaban yang bisa diterima oleh Allâh terkait pertanyaan tersebut.
WallahuA'lam Bisshawwab ..................!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar