Kamis, 20 Juni 2013

** BAHAYA BANYAK BICARA **

Bahaya Banyak Bicara

Banyak bicara merupakan sikap berlebihan yang paling banyak terjadi dan paling besar pengaruhnya. Tidak ada yang selamat dari sikap ini kecuali hanya sedikit.
Dalil-dalil yang menganjurkan untuk menjaga lisan dari banyak bicara
Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.”
(Qaaf: 18)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata:
“Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.”
[Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda dan melucu.
Dinukil dari sebagian ulama:
“Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara.”
Allah juga berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.”
(an-Nisaa’: 114)
Syekh as-Sa’di Rahimahullah berkata:
“Maksudnya tidak ada kebaikan dalam pembicaraan dan perbincangan yang banyak dilakukan manusia. Hal itu kemungkinan karena pembicaraan tersebut tidak ada manfaatnya, seperti berlebihan dalam membicarakan yang mubah. Bisa juga karena pembicaraan tersebut benar-benar jelek dan menimbulkan madharat, seperti pembicaraan yang diharamkan dengan semua bentuknya.
[Tafsir as-Sa’di hal. 165]
Dari Abu Hurairah Rådhiyallåhu ‘anhu berkata, bahwa rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”
[HR. Al-Bukhari dalam al-Adab hadits (6018) dan Muslim hadits (47).]
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
“Hadits ini termasuk jawami’ al kalim (perkataan ringkas tapi mengandung makna yang luas -pent.), karena perkataan itu kalau tidak baik pasti jelek atau bermuara kepada salah satunya.
Yang termasuk perkataan yang baik, segala perkataan yang dianjurkan dalam syariat baik yang wajib maupun sunnah, sehingga perkataan jenis ini dengan segala bentuknya diperbolehkan.
Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Selain hal itu, berupa perkataan yang buruk dan segala perkataan yang mengarah kepada keburukan, seseoarang diperintahkan untuk diam ketika hendak mengatakannya.”
[Fath al-Bari 12/60]
An Nawawi Rahimahullah berkata:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia mengatakkannya.
Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya.
Berdasarkan hal ini, sesungguhnya perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan yang haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.”
[Syarh an-Nawawi untuk Shahih Muslim 2/209]
Diriwayatkan, bahwa Tsa’labah berkata:
“Rasulullah Shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong…”
[Shahih al-Jami’ash-Shaghir no. 1531]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat penyayang dan pengasih mengkhawatirkan umatnya terkena bahaya lidah, dan beliau memperingartkan mereka akan hal tersebut.
Suatu kali Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berkata:
“Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan hidupku!
Beliau berkata:
“Katakanlah, Tuhanku adalah Allah kemudian beristiqamahlah!”
Aku berkata lagi:
“Wahai rasulullah apa yang paling engkau takutkan terhadap diriku?’
Beliau mengeluarkan lidahnya kemudian berkata, Ini.”
[HR at-Tirmidzi dalam az-Zuhd hadits (2410) dan Ahmad 3/413]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak berkata sesuai hawa nafsunya memohon kepada Råbbnya dan berdo’a kepadanya agar tidak berkata kecuali dengan benar.
Diriwayatkan, bawha Ibnu Abbas Radhiyallu ‘anu berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alai wasallam berdo’a.”
Ibnu Abbas menyebutkan lafazh do’a beliau hingga ucapannya:
“Ya Allah terimalah taubatku, terimalah do’aku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku.”
[HR Abu Dawud dalam ash-Shalah hadits (1510) dan Ahmad 1/227.]
Dalam Aunul Ma’bud, sang pengarang berkata:
“Sadidid lisani, maksudnya ialah luruskan dan benarkan lisanku sehingga tidak berucap kecuali dengan jujur dan tidak berkata kecuali yang benar.”
[Aun al-Ma’bud 3/264]
Pembaca yang dilindungi Allah, perhatikanlah hadits berikut! Perhatikanlah pintu-pintu kebaikan paling agung yang ditunjukkan oleh rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara satu persatu pada hadits berikut ini. Setelah itu beliau menyebutkan pokok dan inti pintu kebaikan tersebut. Kemudian pada akhir hadits, beliau (yang sangat tulus dalam menasihati umatnya) menjelaskan satu perkara yang memudahkan seorang muslim untuk memasuki semua pintu-pintu kebaikan itu dan mendapatkan kemenangan berupa pahala dan ganjaran yang besar.
Diriwayatkan, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku sering bersama nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan. Suatu hari ketika kami sedang dalam perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan rasulullah.”
Aku berkata kepadanya:
“Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka!”
Beliau menjawab:
“Kamu telah menanyakan perkara yang besar. Sesungguhnya ia sangat mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah d ibulan Ramadhan dan tunaikan haji!”
Kemudian beliau berkata,
“Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu perisai, shadaqah itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api, shalatnya seseorang pada tengah malam, beliau membaca ayat,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya”
(as-Sajdah 16)
hingga firman Allah,
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”
(as-Sajdah 17)
Beliau melanjutkan sabdanya:
“Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia adalah Jihad.”
Rasulullah bersabda lagi:
“Maukah kamu aku tunjukkan perkara yang dapat mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?”
aku menjawab:
“Ya.”
Beliau mengeluarkan lidahnya lalu berkata:
“Jagalah ini!”
Aku berkata:
“Wahai Nabi Allah! Apakah kami akan di siksa karena apa yang kami bicarakan?”
Beliau menjawab:

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ, وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ فِي النَّارِ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidak ada yang melemparkan manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah mereka.”
[HR. Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh beliau, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)]
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Semoga Allah merahmati orang yang menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak beramal.”
[‘Uyun al-Akhbar, Ibnu Taimiyyah 1/380]
Jika kita mau memperhatikan keadaan kita sekarang ini, niscaya kita dapati yang sebaliknya kecuali orang yang dirahmati Allah.
 Wallahu A'lam bisshawwab...........................................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar