Sabtu, 16 Maret 2013

Asal Kata Tu ( h) an .....


Asal Kata Tu(h)an’’ Beberapa waktu lalu, di Malaysia, terjadi sengketa penggunaan kata “Allah”. Sedikit tergelitik juga saya jadinya. Bahwa penelusuran sejarah mutlak diperlukan guna membuktikan argumen masing-masing pihak. Tapi, kali ini, saya tak berminat mengomentari polemik yang terjadi di sana. Saya lebih tertarik membahas asal kata tuhan, dan komparasinya dengan kata yang sering digunakan al Quran untuk menjelaskan “jabatan” Alloh: ilah dan rabb. Dalam buku Bahasa Menunjukkan Bangsa, Alif Danya Munsyi menyorot beberapa kesalahan berbahasa Indonesia masyarakat negeri ini, baik lisan dan tulisan. Salah satu yang ia tulis adalah kata tuhan. Menurutnya, kata tuhan hanyalah kesalahan ejaan dari kata tuan, dan ini terjadi karena kesalahan seorang Belanda bernama Leijdecker, pada 1678. Dalam bukunya, ia menyebutkan peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu penambahan bunyi “h” yang sebenarnya nirguna pada kata-kata tertentu, seperti hembus, hempas, hasut, dan tuhan. Alif berkata bahwa gejala itu timbul karena pengaruh lafal daerah, rasa tak percaya diri, dan yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Alif mengatakan peralihan tuan menjadi tuhan sepenuhnya bersumber dari kepercayaan mereka atas Yesus. Sebenarnya, di akhir surat-surat Paulus yang berbahasa Yunani, selalu dituliskan kata-kata, “Semoga rahmat Yesus Kristus Tu(h)an kita menyertai ruh kita.” Tuan, dalam bahasa Yunani adalah “kyrios”, dalam bahasa Portugis, “senor”, dalam bahasa Belanda, “here”, dalam bahasa Perancis, “seigneur”, dan dalam bahasa Inggris, “lord”. Perhatikan kutipan dalam buku tersebut berikut ini. Kalimat “Semoga rahmat Yesus Kristus Tuan kita menyertai ruh kita,” dalam bahasa Portugis berarti, “A grace de mosso senhor Jesus Cristo seja com ovosso espiritu.”
Dalam bahasa Belanda kalimat ini berbunyi, “De genade van onzen here Jezus Christus zij met uw geest.” Dalam bahasa Perancis berbunyi, “Que la grace de notre seigneur Jesus Christ soit avec votre esprit.” Dan dalam bahasa Inggris berbunyi, “The grace of our lord Jesus Christ be whit your spirit.” Misi zending, yang membawa risalah Kristen masuk ke Indonesia di masa penjajahan, pada mulanya masih menerjemahkan kata tersebut dengan kata “tuan”. Hal ini dilakukan oleh Browerius, saat Indonesia masih dijajah oleh Portugis, pada 1663. Namun, saat Leijdecker, warga Belanda, pada 1678, menerjemahkan surat-surat Paulus itu, sebutan “tuan” telah berubah menjadi “tuhan”. Dengan kata lain, Leijdecker yang pertama kali menulis kata “tuhan” untuk penerjemahan dalam kitab suci Kristen. Dari penjelasan historis tersebut, kiranya sudah bisa kita tarik kesimpulan bahwa kata “tuhan” masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh teologi Kristen. Meski pada mulanya hanya sebagai kesalahan tulis, kata ini akhirnya menjadi padanan bagi kata “ilah” dan “rabb” dalam bahasa Arab, meski arti sesungguhnya sangat berbeda. *** Sedangkan A.D. El Marzdedeq dalam Parasit Aqidah, memiliki perspektif dan data lain dalam menjelaskan asal kata “tuhan”. Kata ini diduga berasal dari sebuah ajaran penyembahan pada Tu dan Yang yang berpangkal di Asia Tengah, dan mungkin dianut beberapa suku Mongoloid purba. Pada 200 SM, sebagian suku-suku proto-Melayu yang telah menganut keyakinan ini tersebar ke arah Selatan memasuki kepulauan Indonesia dan Filipina. Ajaran Lao Tzu, yang mengajarkan filsafat Tao; Kong Fu Tzu atau Kong Hu Cu, yang terkenal dengan pepatah taatilah ayah bunda dan pemerintahan-nya; ajaran Mon; ajaran Melayu Purba; Ajaran Kaharingan; ajaran Pendeta Polinesia; ajaran Tahiti; ajaran Saminola;
ajaran Guatemala; Sinto; ajaran Huna; hingga ajaran Beun; semuanya berpijak pada satu prinsip aqidah yang sama: pantheisme. Contoh, menurut Kong Fu Tzu, yang menjadikan Tao sebagai sesembahan tertinggi, Tao itu boleh dipikir dengan mengkaji alam dan kehidupan. Sedang ajaran Mon menggariskan bahwa Tu, atau Tuh, ada dan eksis secara menyeluruh. Ia jauh tapi dekat, dan ia bersatu tapi berpisah. Serupa dengan ajaran Mon, ajaran Melayu Purba juga menjadikan Tu sebagai sesembahan tertinggi. Tu dinamakan pula Sangyang Tunggal yang hidup bersekutu dalam alam, tapi ia sendiri bukan alam. Dalam ajaran Kaharingan, Tuh, atau Toh, adalah roh alam, penguasa terbenam dan terbitnya matahari. Sementara itu, dalam ajaran Pendeta Polinesia, Toh adalah zat yang tersusun dari Ora, yang tersebar dalam benda-benda. Dengan catatan, benda tersebut bukan Toh. Hal yang sama berlaku pada ajaran Tahiti, Saminola, dan Guatemala. Para pemeluknya meyakini bahwa Toa, Toaroa, Esang Etuh Emiso, Tou, To, Dy Thi, dan Po Teuh adalah wujud-wujud pencipta semesta ala mini yang kemudian menjelma, dengan prinsip emanasi, ke dalam segenap makhluk di dunia ini. Berbagai bentuk kepercayaan yang berbeda-beda ini ternyata bersepakat terhadap aqidahnya: pantheisme. Selain itu, penamaan mereka terhadap sesembahan mereka pun seragam. Asal katanya sama. Proses pemindahan nama “tuhan” ini sangat mungkin terjadi melalui akulturasi budaya. Indikasinya, kepercayaan Kejawen juga memiliki prinsip-prinsip aqidah yang serupa dengan berbagai bentuk kepercayaan yang telah saya sebutkan satu persatu, seperti di atas.
Contoh yang paling tampak ialah konsep manunggaling kawula gusti. Adagium ini sangat terkenal di lingkungan masyarakat Jawa tulen. Bahkan, kalau ada di antara pembaca yang sempat berkunjung ke pelosok Jawa, saya yakin masih ada sekelompok masyarakat yang meyakini kepercayaan ini. Konsep ini merupakan salah satu bagian dari bingkai besar filsafat pantheisme. Nah, sampai sini, saya kira sudah jelas. Proses akulturasi tersebut, selain menularkan kepercayaan masyarakatnya, juga akan berdampak pada bahasanya. Itu jelas. Dan salah satu produk akulturasi bahasa yang bisa kita temui saat ini adalah kata “tuhan” ini. Sementara itu, arti dari kata “ilah” dan “rabb” sangat jauh berbeda dengan “tuhan”. Secara singkat, menurut Abul A’la al Maududi dalam al Mushthalahatul Arba’ah fil Qur’an, “ilah” berarti sesembahan, dan “rabb” artinya pemelihara atau pengatur. Bila dibandingkan dengan kata “tuhan” yang berkaitan erat dengan filsafat pantheisme, tentu kita tak dapat menemukan korelasinya. Di satu sisi, “tuhan” dilukiskan sebagai pencipta yang ikut masuk ke dalam masing-masing diri dari makhluk yang diciptakannya. Sementara itu, dalam Islam, Alloh dinyatakan bersemayam di atas Arsy, terpisah dan tidak serupa dengan satu pun makhlukNya. Selain itu, Islam menyatakan bahwa Alloh adalah satu-satunya pemelihara, pengatur, dan yang berhak disembah. Sementara itu, dalam kepercayaan-kepercayaan kuno yang telah saya tuliskan di atas, “tuhan” hanyalah berperan sebagai tempat menghadap seseorang saat ia bersujud. Tak lebih dari itu. Pembuat syariat, dalam sistem kepercayaan di luar Islam, bukanlah Alloh. Pemelihara dan pengatur segala aktivitas kita, menurut Islam, adalah Alloh. Dari uraian di atas, kiranya bisa kita tarik beberapa kesimpulan. Pertama, kata “tuhan” ternyata berasal dari kepercayaan selain Islam. Dan hal ini membawa kita pada kesimpulan kedua. Bahwa ideologi maupun aqidah yang dibawa oleh masyarakat yang membawa kata “tuhan” itu ternyata berbeda jauh, berseberangan, dengan Islam. Maka, sebagai seorang muslim yang telah memiliki definisi tersendiri
mengenai Alloh dan “jabatan-jabatannya” sudah sepantasnya kita kembali merujuk pada al Quran untuk menyegarkan lagi pemahaman kita mengenai diin ini
Wallahu A’lam Bisshowwab
Irfan Taufiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar