Minggu, 10 Maret 2013

BILA CINTA BICARA


Sekilas judul ini mengingatkan  akan fitrah manusia antara satu dengan lainnya, yaitu cinta. Biasanya cinta menghasilkan dua kemungkinan, yaitu ada saatnya suka, ada kalanya duka. Sukanya adalah bila cinta berhasil, dukanya adalah bila menghadapi rintangan. Disitulah daya tahan diuji. Akankah terus maju demi cinta, atau justru menjauh? Cinta ibarat kobaran api yang menyala, yang siap membakar segalanya. Bila badai bertiup kencang, kobaran api itu justru makin mengembang, itulah cinta.
            Menurut penyair kenamaan dunia, Kahlil Gibran, kerja (beramal) adalah rasa cinta yang mengejawantah. Dengan demikian, apakah sesungguhnya “Definisi Cinta” itu? Semua orang tiba-tiba menjadi puitis manakala mendefinisikan kata “cinta”. Cinta memiliki definisi yang sangat luas. Maka disini ingin menyampaikan macam formula cinta. CINTA (Cerdas, Integritas, Niat Ikhlas, Tuntas dan Antusias).
            Pertama; Cerdas. Memiliki ilmu pengetahuan dan cakap (skillfuull) adalah kata lain cerdas, disamping berarti ‘encer otak’. Itulah mengapa belajar adalah proses yang harus kita jalani seumur hidup. Ketika menghadapi hal-hal baru, orang yang cerdas pasti mempelajarinya. Ia tak segan bertanya pada pendahulu yang pernah mengalami hal yang sama. Atasan, bawahan, guru, murid, orang dewasa, anak kecil, orang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan, semua adalah sumber berharga untuk belajar. Ketika ada orang berhasil, ia belajar dengan apa yang membuatnya berhasil. Ketika orang gagal, ia mencari faktor penyebab kegagalannya, agar dimasa depan langkah lebih terarah. Orang yang cerdas, senantiasa melakukan segalanya dengan terencana. Tidak terburu-buru, juga tidak berlambat-lambat, penuh strategi demi aktivitas yang dicintainya. Begitulah seharusnya dalam ibadah dan berdakwah khususnya.
            Kedua; Integritas. Ini berarti memiliki komitmen penuh, melakukan segalanya sepenuh hati dan menyeluruh. Ia tidak memikirkan keuntungan pribadi, melainkan kesejahteraan orang lain. Bila memimpin, ia tidak ‘menguasai’ tetapi ‘melayani’ . Ia tidak memikirkan jangka pendek, namun jangka panjang. Orang yang tak punya integritas biasanya jika memimpin otoriter, banyak bicara sistem dan setrategi tapi jauh kenyataan. Sedang yang punya integritas tidak suka janji-janji, tapi lebih suka memberi bukti. Ia punya kredibelitas. Karenanya orang lain percaya. Seperti yang dicontohkah Rasulullah saw.
            Ketiga; Niat ikhlas. Ikhlas dalam bekerja menumbuhkan ketenangan, ikhlas dalam beribadah melahirkan kekhusyu’an. Dalam bekerja misalnya, tiba-tiba bos memarahi kita tanpa alasan yang jelas. Mau balik marah, habislah  kita. Bila kita ikhlas, hati tenang, bukannya naik pitam, tetapi cari penyelesaian yang terbaik. Ikhlas berarti tulus, tidak pamrih. Kerja pontang panting, tapi kantong kering tak masalah, toh Allah telah menjatah rejeki kita. Rasa ikhlas menumbuhkan optimisme dalam  beribadah maupun pekerjaan. Susah senang sebagai proses pembelajaran.
            Keempat; Tuntas. Banyak orang tidak sampai mencapai kesuksesan gara-gara mudah bosan. Belum selesai satu pekerjaan, sudah ingin berganti tugas lain. Ilmu yang satu belum selesai dipelajari, berganti ke ilmu yang lain. Ibadah satu belum sempurna, ditinggalkan dan mengerjakan yang lain. Ujung-ujungnya tak satupun amalan yang tuntas. Target tidak tercapai, tujuan tidak tergapai, mengerjakan amalan pun yang setengah-setengah hanya membuat ritme kerja jadi kusut. Bukan hanya pekerjaan, tapi juga ibadah. Allah menyuruh kita untuk melakukan pekerjaan dengan tuntas, sebelum beralih dengan tugas lain. Firman-Nya, “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.” (QS.Al-Insyirah: 8)
            Kelima; Antusias. Ada ungkapan menarik dari seorang pengusaha top dunia, yaitu Chrysler, bahwa rahasia kesuksesan adalah antusiasme. Antusias dalam beribadah misalnya, menunjukkan bahwa seseorang mencintai dan menikmati ibadahnya. Dalam pekerjaan menunjukkan dia mencintai pekerjaan itu. Hal itu bisa tercermin dari prilaku dan kata-kata. Tangkas, sigap, cepat tanggap, cekatan, tidak egois adalah ciri prilaku antusias.
            Dengan formula cinta, tak masalah dimana kita bekerja, dimana mau beribadah, dengan apa beramal, dengan madzhab apa cara melakukannya, tidak menjadi masalah. Apakah kita memutuskan berpindah atau berhenti kerja, beralih madzab, berprilaku aneh sekali pun, cinta akan menghantarkan kita ke muara keberhasilan. Baik keberhasilan dalam keuntungan maupun kerugian, itu semua karena cinta. Asal jangan salah, bahwa sesungguhnya formula cinta tujuan akhirnya adalah meraih cinta Sang Maha Pencipta. Dalam beragama, formula cinta sangat menentukan. Ilmu agama adalah modal utama, sebagai skill yang harus ditunjang komitmen penuh dengan ikatan niat ikhlas, penuh ketekunan dalam mengerjakan amalan ibadah apapun hingga tuntas. Dan paham benar bahwa satu-satunya cara agar tujuan tercapai ialah dengan berjalan sampai akhir. Dalam beragama jika tidak punya  kecerdasan, integritas, niat ikhlas, tuntas dan antusias, maka tidak akan pernah sampai tujuan, yaitu ridha Ilahi. Itulah perlunya cinta dan komitmen (mahabbah dan istiqamah). Sebuah analogi, bayangkan jika seseorang ingin menuju Jakarta untuk mencari kebahagiaan, namun ditengah jalan dia belok ke Bekasi karena mendengar kota itu indah. Belum sampai ke sana di belok ke kota lain karena dengar di kota itu nyaman. Begitu seterusnya, orang tersebut mengikuti arah angin yang berbisik. Padahal sesungguhnya dia belum mengetahui masing-masing kota tersebut. Orang itu tidak akan pernah sampai kemana pun. Karena selalu tergoda dan tergoda sesuatu yang belum diketahui dengan sesungguhnya.
            Singkatnya, dengan cinta misalnya, seseorang bekerja bukan karena upah semata, tetapi kewajiban untuk berusaha sekali  pun gaji tidak sesuai, atau seseorang beribadah kepada Allah bukan karena ingin masuk syurga dan takut api neraka semata, akan tetapi semua itu hanya mengharapkAan rahmat dan ridha-Nya. Nabi saw bersabda, “Berlaku sedanglah kamu dan lazimkanlah dalam kebaikan dan ibadah, ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri dengan mengandalkan amal ibadahnya semata. Para sahabat bertanya: “Apakah engkau juga tidak ya Rasul?” Rasul menjawab: “Aku pun tidak, kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat dan karunia-Nya.”(HR.Muslim)
            Kualitas amalan ibadah seorang mukmin tergantung nilai cinta kasihnya kepada Allah dan sesama, khususnya kepada Rasulullah saw. Dalam firman-Nya, “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Al-Imran: 31-32)
            Bila cinta seorang mukmin yang bicara, sesuatu yang sulit menjadi mudah, yang berat terasa ringan, ketika jauh terasa dekat, ilmu dan amal banyak dianggap sedikit, dosa sedikit dianggap banyak. Itulah sejatinya iman dan takwa yang harus selalu ditambah dan diperbarui.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar