Sekilas judul ini
mengingatkan akan fitrah manusia antara satu dengan lainnya, yaitu
cinta. Biasanya cinta menghasilkan dua kemungkinan, yaitu ada saatnya suka, ada
kalanya duka. Sukanya adalah bila cinta berhasil, dukanya adalah bila
menghadapi rintangan. Disitulah daya tahan diuji. Akankah terus maju demi
cinta, atau justru menjauh? Cinta ibarat kobaran api yang menyala, yang siap
membakar segalanya. Bila badai bertiup kencang, kobaran api itu justru makin
mengembang, itulah cinta.
Menurut
penyair kenamaan dunia, Kahlil Gibran, kerja (beramal) adalah rasa cinta yang
mengejawantah. Dengan demikian, apakah sesungguhnya “Definisi Cinta” itu? Semua
orang tiba-tiba menjadi puitis manakala mendefinisikan kata “cinta”. Cinta memiliki
definisi yang sangat luas. Maka disini ingin menyampaikan macam formula cinta.
CINTA (Cerdas, Integritas, Niat Ikhlas, Tuntas dan Antusias).
Pertama;
Cerdas. Memiliki ilmu pengetahuan dan cakap (skillfuull) adalah kata lain
cerdas, disamping berarti ‘encer otak’. Itulah mengapa belajar adalah proses
yang harus kita jalani seumur hidup. Ketika menghadapi hal-hal baru, orang yang
cerdas pasti mempelajarinya. Ia tak segan bertanya pada pendahulu yang pernah
mengalami hal yang sama. Atasan, bawahan, guru, murid, orang dewasa, anak
kecil, orang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan, semua adalah sumber
berharga untuk belajar. Ketika ada orang berhasil, ia belajar dengan apa yang
membuatnya berhasil. Ketika orang gagal, ia mencari faktor penyebab
kegagalannya, agar dimasa depan langkah lebih terarah. Orang yang cerdas,
senantiasa melakukan segalanya dengan terencana. Tidak terburu-buru, juga tidak
berlambat-lambat, penuh strategi demi aktivitas yang dicintainya. Begitulah
seharusnya dalam ibadah dan berdakwah khususnya.
Kedua;
Integritas. Ini berarti memiliki komitmen penuh, melakukan segalanya sepenuh
hati dan menyeluruh. Ia tidak memikirkan keuntungan pribadi, melainkan
kesejahteraan orang lain. Bila memimpin, ia tidak ‘menguasai’ tetapi ‘melayani’
. Ia tidak memikirkan jangka pendek, namun jangka panjang. Orang yang tak punya
integritas biasanya jika memimpin otoriter, banyak bicara sistem dan setrategi
tapi jauh kenyataan. Sedang yang punya integritas tidak suka janji-janji, tapi
lebih suka memberi bukti. Ia punya kredibelitas. Karenanya orang lain percaya.
Seperti yang dicontohkah Rasulullah saw.
Ketiga;
Niat ikhlas. Ikhlas dalam bekerja menumbuhkan ketenangan, ikhlas dalam
beribadah melahirkan kekhusyu’an. Dalam bekerja misalnya, tiba-tiba bos
memarahi kita tanpa alasan yang jelas. Mau balik marah,
habislah kita. Bila kita ikhlas, hati tenang, bukannya naik pitam,
tetapi cari penyelesaian yang terbaik. Ikhlas berarti tulus, tidak pamrih.
Kerja pontang panting, tapi kantong kering tak masalah, toh Allah telah
menjatah rejeki kita. Rasa ikhlas menumbuhkan optimisme
dalam beribadah maupun pekerjaan. Susah senang sebagai proses
pembelajaran.
Keempat;
Tuntas. Banyak orang tidak sampai mencapai kesuksesan gara-gara mudah bosan.
Belum selesai satu pekerjaan, sudah ingin berganti tugas lain. Ilmu yang satu
belum selesai dipelajari, berganti ke ilmu yang lain. Ibadah satu belum
sempurna, ditinggalkan dan mengerjakan yang lain. Ujung-ujungnya tak satupun
amalan yang tuntas. Target tidak tercapai, tujuan tidak tergapai, mengerjakan
amalan pun yang setengah-setengah hanya membuat ritme kerja jadi kusut. Bukan
hanya pekerjaan, tapi juga ibadah. Allah menyuruh kita untuk melakukan
pekerjaan dengan tuntas, sebelum beralih dengan tugas lain. Firman-Nya, “Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh urusan yang lain.” (QS.Al-Insyirah: 8)
Kelima;
Antusias. Ada ungkapan menarik dari seorang pengusaha top dunia, yaitu Chrysler,
bahwa rahasia kesuksesan adalah antusiasme. Antusias dalam beribadah misalnya,
menunjukkan bahwa seseorang mencintai dan menikmati ibadahnya. Dalam pekerjaan
menunjukkan dia mencintai pekerjaan itu. Hal itu bisa tercermin dari prilaku
dan kata-kata. Tangkas, sigap, cepat tanggap, cekatan, tidak egois adalah ciri
prilaku antusias.
Dengan
formula cinta, tak masalah dimana kita bekerja, dimana mau beribadah, dengan
apa beramal, dengan madzhab apa cara melakukannya, tidak menjadi masalah. Apakah
kita memutuskan berpindah atau berhenti kerja, beralih madzab, berprilaku aneh
sekali pun, cinta akan menghantarkan kita ke muara keberhasilan. Baik
keberhasilan dalam keuntungan maupun kerugian, itu semua karena cinta. Asal
jangan salah, bahwa sesungguhnya formula cinta tujuan akhirnya adalah meraih
cinta Sang Maha Pencipta. Dalam beragama, formula cinta sangat menentukan. Ilmu
agama adalah modal utama, sebagai skill yang harus ditunjang komitmen penuh
dengan ikatan niat ikhlas, penuh ketekunan dalam mengerjakan amalan ibadah
apapun hingga tuntas. Dan paham benar bahwa satu-satunya cara agar tujuan
tercapai ialah dengan berjalan sampai akhir. Dalam beragama jika tidak
punya kecerdasan, integritas, niat ikhlas, tuntas dan antusias, maka
tidak akan pernah sampai tujuan, yaitu ridha Ilahi. Itulah perlunya cinta dan
komitmen (mahabbah dan istiqamah). Sebuah analogi, bayangkan jika seseorang
ingin menuju Jakarta untuk mencari kebahagiaan, namun ditengah jalan dia belok
ke Bekasi karena mendengar kota itu indah. Belum sampai ke sana di belok ke
kota lain karena dengar di kota itu nyaman. Begitu seterusnya, orang tersebut
mengikuti arah angin yang berbisik. Padahal sesungguhnya dia belum mengetahui
masing-masing kota tersebut. Orang itu tidak akan pernah sampai kemana pun.
Karena selalu tergoda dan tergoda sesuatu yang belum diketahui dengan
sesungguhnya.
Singkatnya,
dengan cinta misalnya, seseorang bekerja bukan karena upah semata, tetapi
kewajiban untuk berusaha sekali pun gaji tidak sesuai, atau seseorang
beribadah kepada Allah bukan karena ingin masuk syurga dan takut api neraka
semata, akan tetapi semua itu hanya mengharapkAan rahmat dan ridha-Nya. Nabi saw bersabda, “Berlaku
sedanglah kamu dan lazimkanlah dalam kebaikan dan ibadah, ketahuilah bahwa
tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri dengan mengandalkan amal
ibadahnya semata. Para sahabat bertanya: “Apakah engkau juga tidak ya Rasul?”
Rasul menjawab: “Aku pun tidak, kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat
dan karunia-Nya.”(HR.Muslim)
Kualitas
amalan ibadah seorang mukmin tergantung nilai cinta kasihnya kepada Allah dan
sesama, khususnya kepada Rasulullah saw. Dalam firman-Nya, “Katakanlah:
jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Al-Imran:
31-32)
Bila
cinta seorang mukmin yang bicara, sesuatu yang sulit menjadi mudah, yang berat
terasa ringan, ketika jauh terasa dekat, ilmu dan amal banyak dianggap sedikit,
dosa sedikit dianggap banyak. Itulah sejatinya iman dan takwa yang harus selalu
ditambah dan diperbarui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar