‘ ‘’Jangan Takut Menegakkan Syari’t Islam ! (Pesan Buya Hamka & M Natsir )’’
Isu Negara Islam Indonesia, radikalisme, dan terorisme
yang ditayangkan hampir setiap hari di media massa nasional setidaknya mampu
membentuk opini di masyarakat—khususnya mereka yang awam terhadap gerakan
Islam, untuk mencurigai setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas keislaman.
Di kampung-kampung, pasca hebohnya pemberitaan tentang NII, masyarakat menaruh
kecurigaan terhadap gerakan-gerakan yang selama ini menuntut diberlakukannya
sistem Islam dalam pemerintahan, tegaknya syariat Islam, dan menuntut
dihentikannya kezhaliman global yang dipertontonkan AS dan sekutu-sekutunya.
Apalagi, dalam pemberitaan selalu digambarkan bahwa mereka yang terlibat dalam
NII dan terorisme menggunakan atribut-atribut seperti jilbab panjang dan
bercadar bagi perempuan, celana cingkrang, berjanggut dan jidat hitam bagi
laki-laki.
Tak hanya itu, isu ini juga sukses membuat aktivis
parpol Islam sibuk menangkis tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII.
Klarifikasi terhadap tudingan bahwa mereka bukan bagian dari NII sah-sah saja.
Tapi, setidaknya klarifikasi itu tidak diiringi dengan kata-kata yang terkesan
sok dan arogan, dengan mengatakan bahwa gagasan negara Islam adalah “ide
kampungan”. Katakanlah tak setuju dengan ide negara Islam atau label negara
Islam, setidaknya tak perlu mengeluarkan kata-kata yang terkesan arogan dan
merasa paling paham soal konsep bernegara. Apalagi, isu NII ini kuat dugaan
adalah rekayasa intelijen yang ingin memberangus ide-ide Islam.
1
Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam
yang terkesan mengidap inferiority complex alias minder dengan identitas Islam.
Mereka selalu mengelak jika dituding ingin menegakkan syariat Islam.
Seolah-olah syariat Islam adalah boomerang yang bisa menghancurkan karir
politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya. Islam
tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena
itu, bagi mereka politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman.
Koor ini disambut meriah oleh para politisi dan pengamat politik sekular. Gaung
soal partai terbuka dianggap lebih modern dan tidak kampungan. Untuk terlihat
matching sebagai partai terbuka dan modern, acara-acara pun diselenggarakan di
hotel-hotel mewah. Logika sederhana mengatakan, di tengah umat yang dihimpit
oleh kemiskinan, apakah pantas mengadakan acara bermegah-megahan?
Atas nama persatuan dan kesatuan, siasat politik dan
toleransi, banyak elit-elit politik Islam yang menghindar jika dituding sebagai
bagian dari kelompok yang mempunyai agenda penegakkan syariat Islam dalam
konteks berbangsa dan bernegara. Seolah-olah “cap” sebagai penegak syariat akan
melunturkan citra politiknya dan membuatnya terasing dari pentas politik.
Terkait dengan hal ini, Mohammad Natsir, tokoh Partai
Masyumi, menyatakan : “Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada
hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang beragama
Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) telah berlaku
zhalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih
banyak, lantaran tidak menggugurkan sebagian dari peraturan-peraturan agama
mereka (agama Islam). Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama
hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, hanya
semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya
“staatkundige”, demokrasi tunggang balik.”
Nasehat bagi mereka yang “takut atau terkesan
malu-malu” untuk menegakkan syariat Islam juga disampaikan Buya Hamka. Dalam
Tafsir Al-Azhar, Hamka menyatakan :
“Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum
Allah. Sebab, di awal surah Al-Maaidah sendiri yang mula-mula diberi peringatan
kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan
hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah.
Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita,
tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di
dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai
sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban
kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum
jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zhalim, fasiklah kita kalau kita
pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah.
2
Jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya
orang, Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu
memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu
kuasai itu? Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus
terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita
yang digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an itu kita pungkiri?
Dan kalau ditanya orang pula, tidaklah demikan dengan
kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang digolongkan kecil
(minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam? Jawablah dengan tegas, “Memang akan
kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Setengah dari hukum Islam terhadap
golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar mereka menjalankan hukum
Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Kita boleh membuat
undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat suci,
tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari Kitab-kitab Suci, bukan hukum buatan
manusia atau diktator manusia. Katakan itu terus terang, dan jangan takut! Dan
insflah bahwa rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda
terus menerus dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang
yang mengaku beragama Islam pun kemasukan rasa takut itu”. (Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz 6)
Demikian nasihat M Natsir dan Buya Hamka. Sebagai umat
Islam, apalagi aktivis partai Islam, kita harus percaya diri bahwa Islamlah
yang cukup dan cakap sebagai aturan dalam mengelola bangsa ini. Apalagi,
cita-cita para as-saabiqunal awwalun bangsa ini dalam memerdekaan negeri ini
adalah agar hukum Islam bisa ditegakkan, bukan hukum buatan manusia apalagi
hukum buatan kolonial. Cita-cita menegakkan Islam harus terus disuarakan dan
diperjuangkan. Karena, perjuangan menegakkan syariat Islam adalah perjuangan
akidah, bukan perjuangan tawar menawar yang bisa dikompromikan.
“Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal;
mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat)
tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan”, demikian ujar Buya Hamka.
(al-mustaqbal
Wallahu A’lam Bish shawwab 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar