Rabu, 18 September 2013

** Politik dan Islam **

                                                      ** Politik dan Islam **
 “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan sesuatu” (TQS. An Nahl: 89)
 “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai islam itu jadi agama bagimu” (TQS. Al Maidah: 3)
Islam adalah agama (ad diin) ataupun mabda yang berbeda dengan yang lainnya. Islam tidak hanya mengatur urusan spiritual (ruhiyyah) saja, melainkan juga meliputi masalah politik (siyasiyyah). Islam mencakup aqidah spiritual dan politik (al-aqidah ar-ruhiyyah wa as siyasiyyah). Artinya selain mengatur urusan yang bersifat spiritual seperti, pahala dan dosa, siksa, surga dan neraka, hal-hal yang ghaib, serta tata cara ibadah (seperti sholah, zakat, puasa, dan haji); islam juga mengatur urusan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat (politik atau siyasiyyah) seperti masalah perekonomian, pendidikan, interaksi pria dengan wanita, penggalian dan penerapan hukum, termasuk kepemimpinan dan kenegaraan.
Allah telah memerintahkan kepada rasulullah saw., untuk memimpin umat manusia secara umum dalam rangka mengurus dan menegakkan hukum Allah sesuai dengan hukum-hukum yang telah Allah turunkan terhadap mereka. Allah telah memerintahkan untuk membawa hukum-hukum Allah kedalam ranah politik untuk dijadikan aturan dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al Maidah: 49)
Barang siapa yang melepaskan keterikatannya dari apa yang Allah turunkan, baik dalam masalah ruhiyyah ataupun masalah siyasiyyah, baik kedua-duanya maupun salah satunya, Allah menghukumi mereka dengan ungkapan Kafir, Zalim atau Fasik (lihat QS. 5: 44,45 dan 47). Oleh karena itu keterikatan dan ketundukan terhadap hukum Allah merupakan perkara wajib bagi setiap muslim.
 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”(TQS. An Nisa: 65) 
Istilah siyasiyyah (politik) telah banyak digunakan oleh ulama terdahulu maupun sekarang dalam kitabnya. Ibn Taimiyah dalam kitab as Siyasah Syar’iyah, imam al Mawardi dalam Ahkamus Sulthoniyyah, ataupun Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah-nya, dan masih banyak lainnya.
“Bani Israil urusannya selalu diatur oleh para nabi, apabila ada seorang nabi yang meninggal dunia, maka akan digantikan dengan nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi lagi setelahku, tapi akan terdapat banyak khalifah, para sahabat bertanya: apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasul saw., menjawab: penuhilah bai’at bagi khalifah yang pertama (yang lebih dahulu di bai’at) dan hanya yang pertama (saja), karena Allah akan menanya mereka tentang apa-apa yang mereka urusi.” (THR. Bukhari-Muslim)
Secara bahasa, politik (siyasah) berasal dari kata sasa, yasuusu, siyasatanyang berarti mengurusi kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhith disebutkan bahwa ar-ra’isata siyasatan berarti ‘saya memerintahnya dan melarangnya’.
Abdul Qadim Zallum dalam Afkaru Siyasiyyah mendefinisikan politik dengan makna mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Definisi tersebut bersifat umum, karena menggambarkan realitas aktivitas politik yang dipahami semua orang. Namun demikian masing-masing manusia memiliki mekanisme yang berbeda terkait dengan bagaimana proses pengurusan (ri’ayah) terhadap diri mereka.
Aktivitas politik dalam islam diperankan baik oleh pemerintah (ulil amri) ataupun oleh umat, baik secara berjamaah maupun secara individu. Negara adalah institusi yang mengatur urusan umat secara praktis, baik dengan penerapan kebijakan, peraturan, maupun sanksi hukum; sedangkan umat wajib mengawal maupun melakukan koreksi terhadap aktivitas yang diterapkan pemerintah (muhasabah lil hukm), berdasarkan hukum syara.
Dalam konteks dalam negeri, politik negara islam dilakukan dengan menerapkan hukum islam dalam setiap aspek kehidupan. Negara mengatur muamalat, menengakkan uqubat, memelihara akhlak, menjamin syi’ar-syi’ar ibadah dan mengurus kemaslahatan umat berdasarkan islam. Dalam konteks luar negeri, politik daulah islam diwujudkan dengan menjalin hubungan dengan berbagai bangsa, umat dan negara lain. Kaidah politik luar negeri islam dibangun atas dasar da’wah dan jihad, yang tujuannya adalah mendakwahkan islam ke seluruh penjuru dunia.
 “Tidaklah seorang hamba yang diserahi tugas oleh Allah untuk mengatur urusan umatnya, tetapi dia tidak melakukannya dengan penuh nashihat (berbuat dzalim), kecuali dia tidak akan merasakan baunya surga.” (THR. Bukhari)
Masalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin merupakan hal yang tak bisa luput dari aktivitas politik dalam islam. Karena pada dasarnya pemimpin (Khalifah)lah yang bertanggung jawab atas pengurusan kehidupan masyarakat islam.  
Pada masa sahabat, peristiwa paling penting dan mendesak setelah wafatnya rasulullah adalah masalah kepemimpinan bagi kaum muslimin. Peristiwa di Tsaqifah bani Saidah atau pengangkatan Abu Bakar ra., sebagai khalifah menunjukkan betapa urgentnya masalah kepemimpinan umum ditengah-tengah kehidupan kaum muslimin. Padahal saat itu jasad manusia mulia yang bernama Muhammad bin Abdullah, rasulullah saw., belum lagi dikuburkan, tetapi para sahabat lebih memilih untuk mendahulukan pengangkatan seorang pemimpin bagi kaum muslimin (khalifah) dan menunda penguburan jenazah rasulullah saw., hingga tiga hari dua malam, sementara sahabat lainnya mendiamkan perkara tersebut.
Penundaan pengurusan jenazah Rasulullah saw., dan pengangkatan Abu Bakar ra., sebagai Khalifah tidaklah menunjukkan apa pun, kecuali ijmak sahabat mengenai keutamaan mengangkat khalifah (pemimpin bagi kaum muslimin) dibanding dengan kewajiban menguburkan jenazah, sekalipun jasad rasulullah saw.  Bukankah rasulullah saw., pernah bersabda bahwa umat terbaik adalah generasi para sahabat, lalu generasi setelahnya (tabi’in), dan generasi setelahnya lagi (tabi’it tabi’in)?! Lantas siapakah yang lebih benar perkataannya dari rasulullah saw., bila ada orang yang mengatakan bahwa para sahabat ra., di tsaqifah bani saidah adalah orang-orang yang melakukan makar atau kemaksiatan ? 
Secara berkelompok, Allah memerintahkan kepada umat manusia yang beriman melakukan aktivitas politiknya sebagai berikut:
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan (islam), menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imron: 104)
Dalam pelaksanaan aktivitas politiknya- secara terorganisasi –kelompok-kelompok tersebut dapat berupa kelompok (jamaah), gerakan-gerakan (harokah), organisasi politik kemasyarakatan (jama'ah siyasiyyun) atau partai politik (hizb). Namun demikian, saat ini penggunaan-penggunaan istilah selain partai politik, lebih banyak mengambil peran negara- yang tidak dapat diperankan negara dengan semestinya -secara praktis.
Pemahaman tentang aktivitas politik umat secara berkelompok ini semakin kabur ketika sekularisme masuk kepemikiran umat islam, bahkan ketika kita mendengar istilah hizb (partai politik), maka yang terlintas dibenak kita adalah kelompok yang akan berebut kekuasaan atau parlemen. Padahal aktivitas politik umat secara berkelompok ini adalah dalam tataran seruan (da’wah)- baik kepada pemerintah maupun masyarakat -untuk memeluk islam, berbuat kemakrufan sebagaimana islam memerintahkan, dan menjauhi kemungkaran sebagaimana islam melarangnya.
Secara individu, seorang muslim juga diperintahkan untuk senantiasa berpolitik dalam rangka memperhatikan urusan sesama mereka, bahkan walaupun hanya dalam bentuk perhatian atau sebatas memikirkannya saja.
“Barang siapa yang pada waktu shubuh (terbangun), tetapi keinginannya adalah selain keridhaan Allah, maka dia bukan termasuk yang diridhai Allah; dan barang siapa yang pada waktu shubuh (terbangun), tetapi tidak memperhatikan (sedikit pun) urusan kaum muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka.” (THR. Hakim)                                                                                                                              
Oleh karena itu, sistem politik dalam pandangan islam adalah hukum atau pandangan yang berkaitan dengan bagaimana pengurusan dan pengaturan masyarakat dengan hukum islam. Selain itu islam pun telah menetapkan asas bagi sistem politiknya. Asas-asas tersebut adalah:
1.      Kedaulatan ada di tangan syara’
2.      Kekuasaan ada di tangan umat
3.      Pengangkatan khalifah untuk seluruh umat muslimin hukumnya wajib
4.    Khalifah, satu-satunya yang berhak untuk mengadopsi hukum syara untuk dijadikan undang-undang (Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual)
 Keempat asas ini harus ada dalam sistem politik islam. Apabila salah satu dari keempat asas ini dihilangkan, maka sistem politik islam akan hancur. Perhatikanlah !!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar