** Politik dan Islam **
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan sesuatu” (TQS. An
Nahl: 89)
“Pada
hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai islam itu jadi agama bagimu” (TQS. Al
Maidah: 3)
Islam adalah agama (ad
diin) ataupun mabda yang berbeda dengan yang lainnya. Islam tidak hanya
mengatur urusan spiritual (ruhiyyah) saja, melainkan juga meliputi masalah
politik (siyasiyyah). Islam mencakup aqidah spiritual dan politik (al-aqidah
ar-ruhiyyah wa as siyasiyyah). Artinya selain mengatur urusan yang bersifat
spiritual seperti, pahala dan dosa, siksa, surga dan neraka, hal-hal yang
ghaib, serta tata cara ibadah (seperti sholah, zakat, puasa, dan haji); islam
juga mengatur urusan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat (politik
atau siyasiyyah) seperti masalah perekonomian, pendidikan, interaksi pria
dengan wanita, penggalian dan penerapan hukum, termasuk kepemimpinan dan
kenegaraan.
Allah telah
memerintahkan kepada rasulullah saw., untuk memimpin umat manusia secara umum
dalam rangka mengurus dan menegakkan hukum Allah sesuai dengan hukum-hukum yang
telah Allah turunkan terhadap mereka. Allah telah memerintahkan untuk membawa
hukum-hukum Allah kedalam ranah politik untuk dijadikan aturan dan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat.
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al Maidah: 49)
Barang siapa yang
melepaskan keterikatannya dari apa yang Allah turunkan, baik dalam masalah
ruhiyyah ataupun masalah siyasiyyah, baik kedua-duanya maupun salah satunya,
Allah menghukumi mereka dengan ungkapan Kafir, Zalim atau Fasik (lihat QS. 5:
44,45 dan 47). Oleh karena itu keterikatan dan ketundukan terhadap hukum Allah
merupakan perkara wajib bagi setiap muslim.
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”(TQS. An Nisa: 65)
Istilah siyasiyyah (politik)
telah banyak digunakan oleh ulama terdahulu maupun sekarang dalam kitabnya. Ibn
Taimiyah dalam kitab as Siyasah Syar’iyah, imam al Mawardi
dalam Ahkamus Sulthoniyyah, ataupun Taqiyuddin an Nabhani dalam
kitab Mafahim Siyasiyah-nya, dan masih banyak lainnya.
“Bani Israil urusannya selalu diatur oleh para
nabi, apabila ada seorang nabi yang meninggal dunia, maka akan digantikan
dengan nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi lagi setelahku, tapi
akan terdapat banyak khalifah, para sahabat bertanya: apa yang engkau
perintahkan kepada kami? Rasul saw., menjawab: penuhilah bai’at bagi khalifah
yang pertama (yang lebih dahulu di bai’at) dan hanya yang pertama (saja),
karena Allah akan menanya mereka tentang apa-apa yang mereka urusi.” (THR.
Bukhari-Muslim)
Secara bahasa, politik
(siyasah) berasal dari kata sasa, yasuusu, siyasatanyang berarti mengurusi
kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhith disebutkan
bahwa ar-ra’isata siyasatan berarti ‘saya memerintahnya dan
melarangnya’.
Abdul Qadim Zallum
dalam Afkaru Siyasiyyah mendefinisikan politik dengan makna mengatur
urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Definisi tersebut bersifat
umum, karena menggambarkan realitas aktivitas politik yang dipahami semua
orang. Namun demikian masing-masing manusia memiliki mekanisme yang berbeda
terkait dengan bagaimana proses pengurusan (ri’ayah) terhadap diri mereka.
Aktivitas politik dalam
islam diperankan baik oleh pemerintah (ulil amri) ataupun oleh umat, baik
secara berjamaah maupun secara individu. Negara adalah institusi yang mengatur
urusan umat secara praktis, baik dengan penerapan kebijakan, peraturan, maupun
sanksi hukum; sedangkan umat wajib mengawal maupun melakukan koreksi terhadap
aktivitas yang diterapkan pemerintah (muhasabah lil hukm), berdasarkan
hukum syara.
Dalam konteks dalam
negeri, politik negara islam dilakukan dengan menerapkan hukum islam dalam
setiap aspek kehidupan. Negara mengatur muamalat, menengakkan uqubat,
memelihara akhlak, menjamin syi’ar-syi’ar ibadah dan mengurus kemaslahatan umat
berdasarkan islam. Dalam konteks luar negeri, politik daulah islam diwujudkan
dengan menjalin hubungan dengan berbagai bangsa, umat dan negara lain. Kaidah
politik luar negeri islam dibangun atas dasar da’wah dan jihad, yang tujuannya
adalah mendakwahkan islam ke seluruh penjuru dunia.
“Tidaklah
seorang hamba yang diserahi tugas oleh Allah untuk mengatur urusan umatnya,
tetapi dia tidak melakukannya dengan penuh nashihat (berbuat dzalim), kecuali
dia tidak akan merasakan baunya surga.” (THR. Bukhari)
Masalah kepemimpinan
umum bagi kaum muslimin merupakan hal yang tak bisa luput dari aktivitas
politik dalam islam. Karena pada dasarnya pemimpin (Khalifah)lah yang
bertanggung jawab atas pengurusan kehidupan masyarakat islam.
Pada masa sahabat,
peristiwa paling penting dan mendesak setelah wafatnya rasulullah adalah
masalah kepemimpinan bagi kaum muslimin. Peristiwa di Tsaqifah bani Saidah atau
pengangkatan Abu Bakar ra., sebagai khalifah menunjukkan betapa urgentnya
masalah kepemimpinan umum ditengah-tengah kehidupan kaum muslimin. Padahal saat
itu jasad manusia mulia yang bernama Muhammad bin Abdullah, rasulullah saw.,
belum lagi dikuburkan, tetapi para sahabat lebih memilih untuk mendahulukan
pengangkatan seorang pemimpin bagi kaum muslimin (khalifah) dan menunda penguburan
jenazah rasulullah saw., hingga tiga hari dua malam, sementara sahabat lainnya
mendiamkan perkara tersebut.
Penundaan pengurusan
jenazah Rasulullah saw., dan pengangkatan Abu Bakar ra., sebagai Khalifah
tidaklah menunjukkan apa pun, kecuali ijmak sahabat mengenai keutamaan
mengangkat khalifah (pemimpin bagi kaum muslimin) dibanding dengan kewajiban
menguburkan jenazah, sekalipun jasad rasulullah saw. Bukankah rasulullah
saw., pernah bersabda bahwa umat terbaik adalah generasi para sahabat, lalu
generasi setelahnya (tabi’in), dan generasi setelahnya lagi (tabi’it tabi’in)?!
Lantas siapakah yang lebih benar perkataannya dari rasulullah saw., bila ada
orang yang mengatakan bahwa para sahabat ra., di tsaqifah bani saidah adalah
orang-orang yang melakukan makar atau kemaksiatan ?
Secara berkelompok, Allah memerintahkan kepada
umat manusia yang beriman melakukan aktivitas politiknya sebagai berikut:
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan
orang yang menyeru kepada kebajikan (islam), menyuruh berbuat yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang
beruntung” (TQS. Ali Imron: 104)
Dalam pelaksanaan
aktivitas politiknya- secara terorganisasi –kelompok-kelompok tersebut dapat
berupa kelompok (jamaah), gerakan-gerakan (harokah), organisasi politik
kemasyarakatan (jama'ah siyasiyyun) atau partai politik (hizb). Namun demikian,
saat ini penggunaan-penggunaan istilah selain partai politik, lebih banyak
mengambil peran negara- yang tidak dapat diperankan negara dengan semestinya
-secara praktis.
Pemahaman tentang
aktivitas politik umat secara berkelompok ini semakin kabur ketika sekularisme
masuk kepemikiran umat islam, bahkan ketika kita mendengar
istilah hizb (partai politik), maka yang terlintas dibenak kita
adalah kelompok yang akan berebut kekuasaan atau parlemen. Padahal aktivitas
politik umat secara berkelompok ini adalah dalam tataran seruan (da’wah)- baik
kepada pemerintah maupun masyarakat -untuk memeluk islam, berbuat kemakrufan
sebagaimana islam memerintahkan, dan menjauhi kemungkaran sebagaimana islam
melarangnya.
Secara individu, seorang
muslim juga diperintahkan untuk senantiasa berpolitik dalam rangka
memperhatikan urusan sesama mereka, bahkan walaupun hanya dalam bentuk
perhatian atau sebatas memikirkannya saja.
“Barang siapa yang pada waktu shubuh
(terbangun), tetapi keinginannya adalah selain keridhaan Allah, maka dia bukan
termasuk yang diridhai Allah; dan barang siapa yang pada waktu shubuh
(terbangun), tetapi tidak memperhatikan (sedikit pun) urusan kaum muslimin, maka
dia bukan bagian dari mereka.” (THR. Hakim)
Oleh karena itu, sistem
politik dalam pandangan islam adalah hukum atau pandangan yang berkaitan dengan
bagaimana pengurusan dan pengaturan masyarakat dengan hukum islam. Selain itu
islam pun telah menetapkan asas bagi sistem politiknya. Asas-asas tersebut
adalah:
1. Kedaulatan
ada di tangan syara’
2. Kekuasaan
ada di tangan umat
3. Pengangkatan
khalifah untuk seluruh umat muslimin hukumnya wajib
4. Khalifah, satu-satunya
yang berhak untuk mengadopsi hukum syara untuk dijadikan undang-undang (Hafidz
Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual)
Keempat
asas ini harus ada dalam sistem politik islam. Apabila salah satu dari keempat
asas ini dihilangkan, maka sistem politik islam akan hancur. Perhatikanlah !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar