Minggu, 20 Oktober 2013

METODE PENEMUAN HUKUM


A.    Pendahuluan
Konsep  penemuan  hukum  merupakan  teori  hukum  terbuka  yang  pada  pokoknya bahwa suatu   aturan yang  telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah  maknanya,  meskipun  tidak  ada  diubah  kata-katanya  guna  direlevasikan  dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang  tidak  jelas  bunyi  teks  suatu  undang-undang, maka  dalam metode  penemuan  hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi.
Memperhatikan  jenis-jenis  metode  penemuan  hukum  ataupun  metode  penerapan hukum  dalam  ilmu  hukum  Islam    (istinbath  al-hukm)  dan  penerapan  hukum  (tathbiq  al-hukm),  dalam  hukum  Islam  sebenarnya  tidak  jauh  berbeda  dengan  metode  penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode  yang  diberlakukan  dalam  suatu  negara menurut  hukum  Islam  yang  telah dikemukan  oleh  para  Juris  Islam  (fuqaha‟)  dan  sangat  mendasar  metode  yang  mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode seperti   dengan  metode  hermeneutika  maupun  dari  segi  bahasanya  yang  disebut  Ushul.

B.  Pengertian Motode Penemuan Hukum Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo penemuan hukum dipakai dengan  istilah “istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan  hukum dari  dalil,  jalan  istinbath ini  memberikan  kaidah-kaidah  yang  bertalian dengan  pengeluaran  hukum  dari  dalil.
Imam Al-Ghazali dalam  kitabnya  “Al-Mustashfa,  memasukan dalam  bab III dengan judul “Thuruqul  Istitsmar”.  Jika dilihat tujuan mempelajari  Ushul  Fiqh  maka  passwar  yang paling  penting  dalam  mempelajari  ilmu  tersebut  adalah  agar  dapat  mengetahui  dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah  lainnya.
Ahli  Ushul  Fiqh menetapkan  ketentuan  bahwa  untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.
1.      Kaidah syar‟iyyah
Yang dimaksud dengan kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟dalam  menetapkan  hukum  dan  tujuan  penetapan  hukum  bagi  subyek  hukum (mukallaf).
Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil,  tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
2.      Kaidah lughawiyah
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nyamaupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya  dapat  dijadikan  pedoman  dalam  menetapkan hukum.
Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh  ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam  ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran  atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan  memahami jiwa hukum  yang  terkandung  dalam  dalilnya, baik yang  menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.

Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh seiap orang yang ingin  berijtihad.
C.   Penemuan hukum
Penemuan hukum (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara/advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.
Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum  terhadap peristiwa konkret,  tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.


D.     Metode Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah  metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin :  yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ;  perolehan makna (al-talaqqi)  dan penyampaian  makna (al-tablig).
Dalam perkembangan hukum bayani  atau  setidak-tidaknya mendekati  sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna “mengartikan‟, “menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan  juga  bertindak  sebagai penafsir.
Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi  mengerti, atau usaha mengalihkan diri  dari  bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang  kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih Penemuan hukum itu  selalu  berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara menerapkan dalam peristiwa konkrit.
Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum)  atau  kekosongan  undang-undang  (wet vacuum).
Sementara penciptaan hukum berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir/muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam  keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta‟wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan  dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟  ditujukan (dikhitobkan) pada terminology “hermeneutika Al-Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab ;  fassara atau  safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta‟wil  (al-ta‟wil)  sering  kali disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟.  Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese),  sedangkan al-ta‟wil lebih merupakan isnterprestasi dalam  (esoteric exegese)  yang berkaitan dengan makna  batin teks dan penafsiran metaforis terhadap  Al-Quran.
Dengan kata lain al-tafsir  suatu upaya untuk menyingkap sesuatu  yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta‟wil  kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna  sampai ke tujuan adalah gerak dinamis. Yang dalam bahasa hukum Islam  merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art pf interprestation)  “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau  peraturan perundang-undangan dan kapasitasnya menjadi objek yang  ditafsirkan.
Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa : teks hukum, peristiwa hukum,  fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).
Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam  bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.  Secara filosofis   metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya.
Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi  kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan. 
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus  :
Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum. Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalal sebuah ilmu atau seni menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan/bahasa langit, sehingga difahami oleh makhluk di bumi.Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan professional untuk menginterprestasikan dan membberikan makna kepada hukum atau metode memahami  terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan  isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum.
Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar  atau relevansi  dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka  pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.  Di bawah  ini dapat kita  lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1.      Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum mengambil  putusan (ex ante)  disebut  “heuristika”  yaitu  proses mencari  dan berfikir  yang  mendahului  tindakan  pengambilan  putusan  hukum.  Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post)  disebut “legitimasi” yang  berkenan dengan pembenaran dari putusan  yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan)  dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila  suatu  putusan hukum  tidak  bisa  diterima  oleh  forum  hukum,  maka  berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata  hanya penerapan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum  terhadap  peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk hukum.
2.      Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi. Metode  penemuan  hukum  ini mempunyai peran penting  bagi  para  pembuat undang-undang dan  peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan  sosialisasi hukum itu sarat dengan pekerjaan interprestasi atau  pemahaman hukum. Interperstasi itulah meruapakan ruh dari metode bayani.
3.      Ilmuwan hukum/Fuqahak. Ilmuwan/fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan kualitas hukum.
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan  ke dalam sebelas macam yaitu :
a.       Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa). Penafsiran kata-kata dalam  teks hukum sesuai kaidah bahasa dan  kaidah  hukum  tata bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu  teks/peraturan menurut bunyi kata-katanya dari hasil interprestasinya bisa  lebih mendalam dari  teks  aslinya,  sebuah kata dapat  mempunyai  berbagai  arti,  dalam  bahasa  fiqh  dikenal  dengan  kata-kata “musytarak‟.
b.      Interprestasi historis. Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya  harus menafsirkan  dengan  jalan  meneliti  sejarah  kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan hukum pembuat undang-undang (syari‟) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.
c.       Interprestasi sistematis. Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat  sebagai  bagian dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri,  tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang  lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
d.      Interprestasi sosiologis atau teologis. Secara sosiologis/teologis apabila makna peraturan/ayat dietapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan. Dalam interprestas ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting. Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong tangan bagi pencuri, postif hukum setiap  pencuri  potong tangan, namun kenyataan hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.
e.       Interprestasi komparatif. Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam  suatu negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab.
f.       Interperstasi futuristik. Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan  hukum  dengan  berpedoman  pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.
g.      Interperstasi restriktif. Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya,  tetapi kalau dibatasi menjadi  tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
h.      Interprestasi ekstensif. Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh di tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.
i.        Interprestasi otentik atau secara resmi. Dalam jenis interprestasi ini, qadhi  tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
j.        Interperstasi interdisipliner. Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih  dari  satu  cabang  ilmu  hukum. Sebagai  contoh,  interprestasi atas pasal  yang menyangkut  kejahatan “korupsi” hakim dapat  menafsirkan  ketentuan  pasal  ini  dalam  berbagai  sudut  pandang  yaitu  hukum pidana, administrasi negara dan perdata.
k.      Interprestasi multidisipliner. Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
B.     Metode Ta’lili
Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh membicarakan masalah„illah ketika membahas qiyas (analogy).  „Illah merupakan rukun qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila  tidak dapat ditentukan „illahnya. Setiap hukum ada „illah yang melatarbelakanginya.  „Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.  Defenisi  lain  dikemukakan  oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh :  „Illat  ialah  suatu  sifat  khas  yang  dipandang  sebagai  dasar dalam  penetapan  hukum.
Orang yang mengakui adanya „illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3 golongan :
1.      Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum  pasti memiliki „illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
2.      Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber‟illat,  kecuali ada dalil yang menentukan adanya „illat.
3.      Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya „illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya  tuntutan  pelayanan  hukum  dalam  kehidupan  umat  Islam.  Maka  banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu tidak  dalam  aplikasinya  pada  suatu  saat  dan  keadaan  tertentu,  ketentuan  hukum  yang disebutkan  dalam  nash  tidak  dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah „illat hukum atau kausa hukum.
Selama „illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika „illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fukahak melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan : “Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau tidak adanya. Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga „illat (kausa) yang melatarbelakanginya ; jika „illat ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk „illat hukum secara tepat.
Mengenai adanya kaitan antara  „illat dan hukum, para  fuqaha mazhab Zahiri  tidak dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui „illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan  hukum  nash menurut  apa  adanya.
Menetapkan adanya kaitan hukum dengan „illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan „illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui „illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terkadi kemudian. „Illat  sangat penting dan sangat menentukan  ada  atau  tidak  adanya  hukum  dalam kasus baru sangat  bergantung pada ada atau tidak adanya „illat pada kasus  tersebut.
Sehingga „illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif  (zhahir),  dapat  diketahui  dengan  jelas  dan  ada  tolak  ukurnya  (mundabith)  dan sesuai  dengan  ketentuan  hukum,  yang  eksistensinya merupakan  penentu  adanya  hukum.
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat  merupakan “tujuan  yang  dekat”  dan  dapat dijadikan  dasar  penetapan  hukum,  sedangkan  hikmat merupakan  “tujuan  yang  jauh”  dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud  dengan „illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat,  yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah,  larangan,  atau  keizinan, baik  keduanya  itu  zhahir  atau  tidak, mundhabith atau  tidak. Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya  hukum  dapat  ditetapkan berdasarkan hikmat,  tidak berdasarkan „illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan  antara metode  qiyas  dengan maqashid  al-syari‟at.
Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi „illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu.  Maslahat dalam „illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan  takmiliyyat,  dan  dari  sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid  al-syariat.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
„Illat adalah hal yang oleh “syari‟ (pembuat  aturan)  dijadikan  tempat  bersandar, tempat bergantung atau  petunjuk  adanya  ketentuan  hukum. „Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu „illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma‟ dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada  nash).„Illat  yang  diperoleh  dengan  dalil  naqli  dibagi  lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya itu „illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat yang diperoleh  hanya  dengan  isyarat,  yang  disebut  ima,  dan  yang  diperoleh  dari  adanya petunjuk sebab.
„Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :
a.       Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr.  Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai  sebagai „illat  hukum,  dan  sabr  adalah  meneliti  hal  yang  telah  dibatasi  dan dirasakan  sesuai  sebagi „illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan sebagai „illat dan mana yang harus diamblil atau ditetapkan.  Cara  ini merupakan  peluang  amat  luas  untuk  berijtihad  dan  amat  memungkinkan  terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
b.      Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji „illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat itu terhadap hukum bersangkutan. „Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-„illah al-munasibah. Al-„illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : „illat muatstsirah (membekas), „illat  mula-imah (sejalan), „illat gharibah (asing) dan „illat mursalah (lepas, bebas). Di bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu :
1)      Al-„illah al-munasab
„Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma‟ dan diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan  atas anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di bawah umur.
2)      Al-„illat mula-imah
„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai „illatnya. Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah  nash  lain mengenai masalah yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum yang bersangkutan.
3)      Al-„illat gharibah
„Illat  yang  diperoleh dari  nash,  tetapi  tidak  jelas  bahwa  „illat  itu  membekas pengaruhnya  terhadap  hukum  dan  tidak  ketahui  dengan  jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai  masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
4)      Al-„illat mursalah
„Illat  yang  tidak  terdapat  pendukungnya  dari  nash,  tetapi  dapat  diketahui  dari  jiwa ajaran Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik.Untuk menetapkannya  diperlukan  ketajaman  pandangan  dan  keluasan  cakrawala pemikiran  tentang  tujuan  dan  rahasia  hukum  Islam  khususnya  dan  ajaran  Islam umumnya.
Oleh karenanya „illah  adalah sifat yang jelas dan ada tolak  ukurnya, yang di dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi  bertanda  (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan  jelas bagi adanya hikmah.
E.    Metode Istislahi
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat  secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang  pertama  adalah maslahat  yang  diungkapkan  secara  langsung  baik  dalam Al Quran maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub  dalam  kedua  sumber  hukum  Islam  tersebut. Di antara kedua maslahat  tersebut,  ada  yang disebut  maslahat  mursalat  yakni  maslahat  yang  tidak ditetapkan  oleh kedua  sumber  tersebut  dan  tidak  pula  bertentangan  dengan  keduanya.
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan  al-mashlahat al-mursalat.
Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.  Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :
1.      Maslahat  tersebut  bersifat  reasonable  (ma‟qul)  dan  relevan  (munasib)  dengan  kasus hukum yang ditetapkan.
2.      Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf‟u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
3.      Maslahat  tersebut  harus  sesuai  dengan  maksud  disyari‟atkan   hukum  (maqashid al-syari‟at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.
a.       Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa  untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut. Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan  oleh  al-Syari‟  sebagai  dasar  penetapan  hukum,  tidak  pula  ada dalil syar‟i yang menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya.
b.      Kemaslahatan itu bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar  telah  diyakini  sebagai  maslahat  tidak  didasarkan  pada  dugaan  (zhan)  semata-mata.
c.       Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif,  tidak  bersifat  individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syari‟at.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai  dengan  tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan.
Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika  terdapat  suatu  kejadian  yang  tidak  ada ketentuan  syari‟at dan  tidak ada  „illat yang keluar dari  syara‟ yang menentukan kejelasan hukum kejadian  tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara‟. Proses seperti itu disebut istislah  (menggali dan menetapkan  suatu masalah).
Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya  terdapat  tujuan  secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya  adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash ’syara‟ yang tidak  merupakan dalil  tambahan terhadap nash syara‟,  tetapi  ia  tidak  keluar  dari  nash syara‟. Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qathi‟iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara‟, walaupun dalam penetapannya zhani.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum  dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang  tidak  terdapat  dalam nash,  baik  dalam Al Quran maupun As Sunnah  yang menjelaskan hukum-hukum yang  ada penguatnya melalui suatu i‟tibar.  Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal  iu  tidak  dijelaskan  oleh  nash  dan  ijmak, melainkan  didasarkan  atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Quran.
F. Penutup

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
2.      Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan, ta‟lili dan istislahi.
3.      Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman terhadap teks.
4.      Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan „illat-„illat dalam suatu masalah.
5.      Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum  yang  stresingnya lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.





Daftar Rujukan/Pustaka

·         Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum, Jakarta, 2000.
·         Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II,  Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.
·         Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.
·         Basyir,  Ahmad  Azhar,  Pokok-Pokok  Persoalan  Filsafat  Hukum  Islam,  UII  Pres Yogyakarta, 1984.
·         Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997.
·         Djazuli, A,  Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum  Islam,   Cet. 5, Edisi Revisi, Prebada Media,  Jakarta, 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar