Jumat, 18 Oktober 2013

تيسير
الوصول إلى الأصول
دراسات في أصول الفقه
عطاء بن خليل
TASIRIL WUSHUL ILAL USHUL *#* * ‘Atho’ bin kholil DAFTAR ISI XI HUKUM SYARA: PENDAHULUAN 1 SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM? 3 KHITHAB TAKLIFI SERUAN SYARI’ YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN HAMBA BERUPA TUNTUTAN DAN PEMBERIAN PILIHAN YANG MENJELASKAN HUKUM ATAS PERBUATAN MANUSIA 7 1. Pengertian asal dari amr 7 2. Hukum asal tentang perbuatan manusia 8 3. Hukum asal tentang benda 9 4. Hukum-hukum atas perbuatan manusia 13 Qarinah-Qarinah yang menjelaskan jenis suatu tuntutan 18 KHITHAB SYARI’ YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN HAMBA DENGAN PENETAPAN WADL’I, YANG MENJELASKAN PERKARA YANG DITUNTUT KEBERADAANNYAOLEH HUKUM, DISEBUT JUGA KHITHAB AL-WADL’I 38 I. Sabab 39
2
Page | 2
II. Syarat 40 III.Mani’ (halangan) 45 IV. Shihah, buthlan dan fasad 47 V. Azimah dan rukhshah 49 HUKUM SYARA YANG MENYELURUH KAIDAH KULLIYYAT 52 Al-Mahkum Fiih 65 Al-Mahkum Alaih 68 DALIL-DALIL SYARA 72 I. AL-QURAN 73 Pengumpulan al-Quran 77 Penyalinan Mushhaf-Mushhaf 80 Menghimpun Bacaan-Bacaan yang Mutawatir 84 Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Huruf 88 Pembubuhan Tanda Syakal pada Mushhaf 92 Al-Muhkam dan al-Mutasyabih 92 Penulisan Mushhaf Bersifat Tauqifi 96 AS-SUNNAH 98 Mengikuti Rasul dalam Perkara yang Berasal dari Beliau 100 IJMA 110 QIYAS 115 Kehujjahan Qiyas 117 Rukun Qiyas 119 Syarat-syarat Rukun Qiyas 120 Syarat-syarat ‘illat 123 Jenis-jenis ‘Illat 125 Perbedaan antara ‘Illat dan Sabab 141 Perbedaan antara ‘Illat dengan Hikmah 142 PERKARA YANG DIDUGA SEBAGAI DALIL PADAHAL BUKAN DALIL 148 MEMAHAMI DALIL 154 PEMBAHASAN TENTANG BAHASA 156 Penciptaan Bahasa 157 Al-Qur’an adalah Berbahasa Arab 159 Tata cara Orang Arab Mengungkapkan Makna-makna 163 Hakikat 164 Majaz 166 Pemberian faedah terhadap hukum. 173 Isytiqaq 174 Tata cara Orang-orang Arab Menyusun Perkataan 179 Mufrad 179 Al-Harf 179 Isim 204 Fi’il 205 Murakkab 207 DALALAH AL-FADZ 211 AL-KITAB DAN AS-SUNNAH 256 AMAR DAN NAHI 256 Bentuk Amar 256
3
Page | 3
Jumlah murakkab yang memberikan arti tuntutan dalam manthuqnya. 260 Jumlah Murakkabah yang Memberikan Arti Tuntutan dalam Mafhumnya 264 Bentuk Nahi 248 Jumlah Murakabah dalam Manthuq 272 Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Amar dan Nahyi 281 UMUM DAN KHUSUS 292 Bentuk-bentuk lafadz âm 293 Faidah 296 Bentuk-bentuk Lafadz Khusus 297 At-Taghlib 297 Pengkhususan Kata yang Umum 305 Dalil-dalil Pengkhususan 305 Hukum Lafadz Umum 319 Jawaban dari Pertanyaan Dilihat dari Umum dan Khusus 324 Asbab an-Nuzul326 Nakirah Dalam Susunan Kalimat Nafi Memberikan Arti Umum; Tetapi Bagaimana?330 Masuknya Ma’thuf ke dalam Keumuman Ma’thuf ‘Alaih 333 Berargumen dengan Pengkhususan Lafadz Umum Tidak Menghalangi pada Selain Lafadz Khusus 334 MUTHLAQ DAN MUQAYYAD 336 Muthlaq 336 Muqayyad 338 Taqyid Kulli dan Taqyid Juz-‘I 339 Mengamalkan Muthlaq dan Muqayyad 345 MUJMAL DAN MUBAYYAN 348 Mujmal 348 Mubayyan 357 NASAKH, NASIKH DAN MANSUKH 365 Tata Cara Terjadinya Nasakh 370 Perbedaan antara nasakh dengan takhsis 374 IJTIHAD 376 Mujtahid Mutlak 377 Urgensi Ijtihad pada Setiap Masa 379 Pengakuan Rasulullah atas Ijtihad Sahabat di masanya. 382 Ijtihad Mujtahid 385 Tidak Boleh ada Ijtihad pada Diri Rasul 388 TAQLID 397 Taqlid Bukanlah (Prinsip) Asal 401 Definisi masalah: 402 TARJIH DIANTARA BEBERAPA DALIL 404 TARJIH 413 I. Tarjih Diantara Dua Dalil 413 II. Tarjih di Antara Penunjukan Lafadz-lafadz dalam Satu Dalil 430
4
Page | 4
PENDAHULUAN Ushul fiqih tersusun dari dua kata, yaitu ushul dan fiqih. Al-Ushul merupakan jamak dari kata al-ashlu yang secara bahasa berarti setiap perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik (bersifat) indrawi, seperti dibangunnya dinding di atas pondasi, atau (bersifat) aqli, seperti dibangunnya ma‟lul di atas „illat dan madlul di atas dalil. Adapun fiqih, secara bahasa berarti pemahaman, sebagaimana firman Allah: Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu. (TQS. Hud [11]: 91) Secara syar‟i bermakna pengetahuan terhadap hukum-hukun syara yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan topiknya menyangkut perbuatan hamba; seperti: halal, haram, sah, batal, fasad, dan lain-lain. Dengan demikian ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang diatasnya berdiri ilmu atas hukum-hukum syara yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Ushul fiqih terkait dengan dalil-dalil sam‟i dan tata cara istinbath hukum syara dari dalil-dalil tersebut, termasuk berbagai perkara yang berkaitan dengannya. Fiqih tidak membahas perkara–perkara tentang akidah. Fiqih membahas hukum-hukum syara dari sisi asas yang dibangunnya, bukan dari sisi persoalan-persoalan yang dikandung oleh hukum. Seperti diketahui bahwa ushul fiqih membahas dua perkara mendasar: 1. Hukum syara dan yang berkaitan dengannya. 2. Dalil dan yang berkaitan dengannya.
5
Page | 5
Ditambahkan kepada dua perkara tersebut, yaitu perkara-perkara cabang yang merupakan implikasi dari dua perkara tadi, yaitu istinbath hukum syara dari dalil, termasuk perkara yang berkaitan dengannya. Disebut juga sebagai ijtihad, termasuk yang berkaitan dengannya. Perkara-perkara ini dibahas dalam empat bagian: Bagian Pertama: Hukum syara dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikan bab ini dalam empat pasal yaitu: Pasal pertama, pembahasan Hakim Pasal kedua, khitab taklifi Pasal ketiga, khitab wadl‟i Pasal keempat, kaidah kulliyah Bagian Kedua: Dalil dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikannya tiga bab: Bab I: Dalil Pasal pertama: Dalil syar‟i Pasal kedua: Apa yang disangka sebagai dalil padahal bukan dalil. Bab II: Memahami dalil Pasal pertama: Pembahasan tentang tata bahasa Pasal kedua: dilalah al-alfâdz Bab III: Pembagian al-Kitab dan as-Sunnah Pasal pertama: al-Amru dan an-nahyu Pasal kedua: al-„Aam dan al-khas Pasal ketiga: al-Muthlaq dan al-muqayad Pasal ke empat: al-Mujmal, al-bayan dan al-mubayyan Pasal ke lima: an-Nasakh, an-nasikh dan al-mansukh Bagian ketiga: Ijtihad dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikannya tiga pasal. Pasal pertama: Ijtihad Pasal kedua: Taqlid Pasal ketiga: Tarjih diantara dalil
6
Page | 6
Saya akan menjelaskannya dengan izin Allah Swt secara terperinci. Dan kepada Allah tempat meminta pertolongan. PENDAHULUAN Hukum syara‟ menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) Syâri‟ yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl‟i) dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri‟, tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma‟, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur‟an saja. Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila. Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara terbagi dua bagian: Pertama: Seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia; berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak.
Kedua: Seruan Syâri‟ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia, yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau
7
Page | 7
kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab wadl‟i. Berdasarkan penjelasaan di atas maka bagian pertama menjelaskan tentang hukum-hukum atas perbuatan hamba. Sedangkan bagian kedua menjelaskan hukum-hukum itu sendiri. Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski tidak secara langsung). Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut. Dengan demikian, hukum syara adalah seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl‟i. Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara tersebut kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim. Inilah yang akan kami jelaskan pada pasal pertama dari bab ini. SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM? Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) diantara keduanya. Begitu pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan memilih (salah satu) diantara keduanya.
Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap sesuatu; apakah perkara tersebut
8
Page | 8
baik atau buruk; atau tidak baik dan juga tidak buruk. Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu: 1. Dari aspek fakta. 2. Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. 3. Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan. Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa.
Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah Swt, yakni Syâri‟. Seperti, iman itu baik dan kufur itu buruk, ta‟at itu baik dan maksiat itu buruk. Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum. Karena akal didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda), kesesatan (dlalal), halal, haram,
9
Page | 9
ta‟at, maksiat, dan sejenisnya. Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan siksa, adalah diluar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi) dari Allah. Itulah dalil aqli tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil syar‟i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan dan qabih terbatas pada perintah syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengambil nash-nash dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Allah Swt berfirman: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65) Katakanlah: „Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu‟. (TQS. Ali Imran [3]: 31) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59) 
10
Page | 10
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (TQS. an-Nisa [4]: 83) Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nuur [24]: 63) Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang membuat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.2 Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.3
Dari penuturan diatas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan. Dalam perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum karena hal ini termasuk kedalam aspek ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan. Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala
11
Page | 11
atau membawa implikasi pada siksaan tidak mampu ditentukan oleh akal. Yang mampu menentukannya adalah syara. Anda dengan akal mampu menetapkan bahwa menolong orang tenggelam itu adalah (perbuatan) baik, akan tetapi menetapkan bahwa menolong orang yang tenggelam itu akan mendapatkan pahala, tidak bisa ditentukan oleh akal, tetapi ditentukan oleh syara. Ini telah dijelaskan dalam pembahasan aspek yang ketiga. Dengan demikian, yang mempunyai wewenang mengeluarkan hukum atas perbuatan atau benda adalah syara semata, bukan akal. KHITHAB TAKLIFI SERUAN SYARI‟ YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN HAMBA BERUPA TUNTUTAN DAN PEMBERIAN PILIHAN YANG MENJELASKAN HUKUM ATAS PERBUATAN MANUSIA Tuntutan (al-iqtidla) dan pemberian pilihan (at-takhyir), keduanya termasuk jenis perintah (al-amru) dengan berbagai jenisnya, atau memiliki satu pengertian dengan amr sesuai dengan gaya bahasa Arab. Karena amr merupakan salah satu bagian dari al-Qur‟an dan as-Sunnah maka rinciannya insya Allah akan dibahas pada bab keempat nanti. Meskipun demikian pada pasal ini kami akan mengutarakan sebagian perkara yang mesti diketahui untuk memahami seruan asy-Syâri‟. 1. Pengertian asal dari amr
Para pakar ushul fiqih berbeda pendapat tentang pengertian amr. Ada yang mengatakan bahwa amr itu memberikan arti wajib; ada yang mengatakan memberikan arti sunnat dan ada juga
12
Page | 12
yang mengatakan bahwa amr memberikan arti ibahah. Masing-masing berusaha menetapkan pendapatnya dengan menyertakan berbagai macam dalil. Makna amr harus dicari menurut aspek bahasa, karena syara tidak menentukan maknanya. Untuk memahami makna amr kita harus membatasi pengertiannya menurut penjelasan secara bahasa. Kata amr menurut bahasa berarti tuntutan yang datangnya berasal dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya (at-thalabu „ala wajhi al-isti‟la). Amr berarti juga tuntutan atau sesuatu yang diperintahkan (al-ma‟mur bihi). Berdasarkan pengertian bahasa ini maka asal dari makna amr adalah tuntutan saja. Yang menentukan jenis amr apakah (bersifat) pasti atau tidak, atau berupa pilihan, adalah (adanya) qarinah (indikasi). 2. Hukum asal tentang perbuatan manusia Perbuatan manusia perlu diketahui hukum syaranya, karena tolok ukur perbuatan menurut seorang muslim adalah perintah dan larangan Allah. Allah Swt mewajibkan setiap muslim agar memperhatikan setiap perbuatan yang akan dikerjakannya, dan mengetahui hukum syara atas perbuatan tersebut sebelum dikerjakan, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak. Allah Swt berfirman: Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (TQS. al-Hijr [15]: 92-93) Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya. (TQS. Yunus [10]: 61)
13
Page | 13
Arti berita (ikhbar) Allah kepada hamba-Nya bahwa Allah menyaksikan amal mereka adalah, Allah akan menghisab dan meminta pertanggungjawaban amal perbuatan mereka. Rasulullah saw juga menjelaskan kewajiban agar perbuatan manusia sesuai dengan hukum Allah, sesuai dengan hukum Islam. Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka (perkara) tersebut tertolak.4 Para sahabat ra selalu bertanya kepada Rasulullah tentang aktivitas mereka sampai diketahui (lebih dahulu) hukum Allah-nya sebelum dilaksanakan. Ibnu al-Mubarak mengeluarkan hadits: Bahwa Utsman bin Madh‟um datang kepada Nabi seraya berkata: „Wahai Rasul apakah engkau mengizinkan kepadaku untuk melakukan pengebirian‟. Rasul bersabda: „Bukan termasuk golonganku orang yang melakukan pengebirian dan meminta untuk dikebiri. Sesungguhnya pengebirian umatku adalah berpuasa‟. Utsman berkata: „Wahai Rasul apakah engkau mengizinkan untukku melakukan tamasya‟. Rasul bersabda: „Tamasya-nya umatku adalah jihad di jalan Allah‟. Utsman berkata lagi: „Wahai Rasul apakah engkau mengizinkanku untuk menjadi rahib‟. Rasul bersabda: „Rahibnya umatku adalah duduk di mesjid menunggu shalat‟.5 Dari Hudzaifah bin Yaman berkata:
14
Page | 14
Orang-orang (biasa) bertanya kepada Rasul tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada Rasul tentang keburukan, karena (hal itu) takut akan menimpaku. Aku berkata, „Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sebelumnya ada dalam (masa) kebodohan dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan‟? Rasul bersabda: „Benar, tetapi di dalamnya terdapat asap yang akan menutupinya‟. Aku bertanya: „Apa yang dimaksud dengan asap‟? Rasul bersabda: „Yaitu akan terdapat suatu kaum yang mendapatkan petunjuk bukan dengan petunjukku, kalian akan mengenal mereka dan mengingkari mereka‟. Aku berkata lagi: „Apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan? Rasul berkata: „Benar, yaitu akan ada orang-orang yang mengajak ke neraka jahanam. Barangsiapa yang menyambut (seruan)nya maka akan dilemparkan ke dalamnya‟. Aku berkata: „Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka‟. Rasul bersabda: „Mereka itu seperti kita dan berbicara dengan bahasa kita‟. Aku berkata: „Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpainya‟. Rasul bersabda: „Engkau harus berada bersama-sama dengan jama‟atul muslimin dan Imam mereka‟. Aku berkata: „Bagaimana jika tidak ada jama‟ah atau Imam‟? Rasul menjawab: „Jauhilah golongan-golongan itu semuanya, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga mati dalam keadaan seperti itu‟.6 Dari paparan di atas jelas bahwa asal perbuatan hamba adalah terikat dengan hukum syara. Dan seorang muslim harus mengetahui hukum Allah tentang suatu perbuatan sebelum mereka mengerjakannya, baik hukum itu wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
15
Page | 15
3. Hukum asal tentang benda. Benda berbeda dengan perbuatan. Benda adalah materi yang akan digunakan oleh manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan adalah aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik menyangkut perbuatan ataupun perkataan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perbuatan itu biasanya berhubungan dengan benda. Makan adalah perbuatan, yang terkait dengan roti, apel, daging babi, dan lain-lain. Minum adalah perbuatan, yang terkait dengan air, madu, khamar, dan lain-lain. Benda mesti ada hukumnya, sebagaimana penjelasan kami tentang perbuatan, meskipun nash-nash yang menerangkan hukum tentang benda itu berbeda dengan nash-nash yang berkaitan dengan hukum perbuatan. Nash-nash syara yang berkaitan dengan perbuatan menjelaskan bahwa asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara. Syara juga telah menjadikan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan terbatas pada lima (jenis) hukum, yaitu wajib, sunnat, mubah, haram dan makruh, yang akan kami jelaskan nanti. Sedangkan nash-nash yang terkait dengan benda, jika kita teliti maka kita akan menjumpai bahwa syara memberi label (dengan) sifat halal dan haram saja. Syara tidak menempelkannya dengan (hukum) wajib, sunnat atau makruh. Allah Swt berfirman: Katakanlah: „Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal‟. (TQS. Yunus [10]: 59) 
16
Page | 16
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‟ini halal dan ini haram‟. (TQS. an-Nahl [16]: 116) Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai. (TQS. an-Nahl [16]: 115) Kami haramkan segala binatang yang berkuku. (TQS. al-An‟aam [6]: 146) Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (TQS. al-A‟raaf [7]: 157) Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu. (TQS. at-Tahrim [66]: 1) Katakanlah: „Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?‟. (TQS. al-A‟raaf [7]: 32) Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (TQS. al-Maidah [5]: 3) Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang dilangit dan apa yang dibumi. (TQS. Luqman [31]: 20) 
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
17
Page | 17
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. (TQS. al-Hajj [22]: 37) Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (TQS. al-Baqarah [2]: 168) Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi. (TQS. al-Hajj [22]: 65) Dari nash-nash tersebut jelas bahwa Syâri‟ telah membolehkan seluruh benda, yakni menghalalkannya. Karena ibahah atas benda, artinya halal, lawan dari haram. Oleh karena itu mengharamkan sebagian benda membutuhkan nash yang mengecualikannya dari benda-benda yang pada asalnya dibolehkan. Dengan demikian hukum asal atas benda adalah ibahah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. 4. Hukum-hukum atas perbuatan manusia. Telah kami katakan bahwa asal dari perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara. Hukum syara yang terkait dengan perbuatan manusia adalah hukum-hukum yang dipahami dari seruan asy-Syâri‟ berupa tuntutan atau memberikan pilihan, yaitu sesuai dengan bentuk tuntutan (sighat ath-thalab) yang dipahami dan bermakna al-iqtidla dan takhyir; atau makna dari amr dan sesuatu yang pengertiannya sama seperti yang telah kami jelaskan. Yang menentukan jenis dari tuntutan (thalab) adalah adanya qarinah (indikasi), baik yang ada pada nash itu sendiri, atau pada nash lain. Dengan meneliti dilalah khitab (penunjukan seruan) asy-Syâri‟ yang menjelaskan hukum perbuatan manusia, maka hukum itu dibatasi menjadi lima, yaitu:
18
Page | 18
1. Fardlu atau wajib. Yaitu apabila terdapat nash syara berbentuk sighat amr atau yang semakna dengan itu, berbentuk kata atau yang semakna. Dari bentuk kata tersebut kita bisa memahami adanya tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Kemudian kita mencari qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut bersifat pasti. Berdasarkan sighat thalab (bentuk kata tuntutan) dan qarinah yang pasti inilah maka hukum perbuatan itu menjadi wajib. Contohnya firman Allah Swt: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (TQS. at-Taubah [9]: 29) Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berjihad dengan kata (). Perintah tersebut bersifat pasti dengan qarinah dari ayat lain: Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih. (TQS. at-Taubah [9]: 39) Dari sini kita bisa pahami bahwa perintah tersebut berbentuk perintah (tuntutan) yang jazm (pasti) untuk mengerjakan, sehingga jihad hukumnya fardlu atau wajib. Contoh lainnya adalah firman Allah: Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 103)
19
Page | 19
Dan dirikanlah shalat. (TQS.an-Nuur [24]: 56) Kedua ayat tersebut menunjukkan arti adanya tuntutan (thalab) yang berbentuk semakna dengan amr, yaitu . Ayat yang kedua berbentuk tuntutan (sighat amr), yaitu . Juga terdapat ayat-ayat lain yang menunjukkan adanya tuntutan untuk melaksanakan shalat. Perintah ini bersifat jazm dengan qarinah yang terdapat pada ayat lain: „Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?‟ Mereka menjawab: „Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat‟. (TQS. al-Mudatstsir [74]: 42-43) Begitu pula terdapat nash-nash lain (yang tidak disebut) yang di dalamnya terdapat qarinah yang menunjukkan kepastian tuntutan shalat. Dari sini bisa dipahami bahwa perintah tersebut berupa tuntutan yang bersifat pasti untuk mengerjakan, yaitu shalat hukumnya wajib. 2. Mandub. Yaitu apabila terdapat nash syara yang memberikan arti adanya tuntutan, kemudian terdapat qarinah yang memberikan arti tarjih serta sifatnya yang tidak pasti, sehingga tuntutan yang sifatnya tidak pasti itu memberikan arti mandub. Contohnya sabda Rasulullah saw: Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.7
Rasulullah saw memerintahkan untuk shalat jamaah, meskipun tuntutan (thalab)nya tidak berbentuk kata perintah (sighat amr). Tetapi
20
Page | 20
mengambil bentuk yang semakna dengannya. Hal ini akan kami jelaskan nanti. Qarinah atas tuntutan tersebut memberikan arti ketidakpastian. Dengan dalil diamnya Rasulullah saw terhadap segolongan kaum Muslim yang shalat sendirian. Karena shalat jamaah tergolong upaya taqarrub kepada Allah, maka hukum shalat jamaah itu (hukumnya) mandub. 3. Haram atau mahzhur. Yaitu apabila terdapat nash syara yang menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, baik berbentuk larangan (sighat nahyi) atau yang semakna dengannya. Kemudian terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan (untuk meninggalkan) tersebut bersifat pasti. Tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan berarti (hukumnya) haram. Contohnya firman Allah: Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (TQS. al-Isra [17]: 32) Ayat ini menunjukkan tuntutan yang bersifat pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan, dengan dalil kata dan qarinah Dengan demikian hukum zina adalah haram. 4. Makruh.
21
Page | 21
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka bukan (termasuk) golonganku.8 Dalam hadits tersebut Rasulullah saw melarang tidak menikah bagi orang yang mampu. Tetapi larangan itu bersifat tidak pasti, dengan dalil diamnya Rasul terhadap sebagian orang-orang yang mampu namun tidak menikah, padahal beliau mengetahui. Tidak menikahnya orang yang mampu hukumnya adalah makruh. 5. Mubah. Allah Swt berfirman: Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (TQS. al-Maidah [5]: 2) Allah Swt menyuruh untuk berburu setelah ihram selesai. Akan tetapi perintah tersebut tidak menunjukkan bahwa berburu setelah ihram selesai adalah fardlu atau mandub. Hal itu hanya menunjukkan mubah, dengan adanya qarinah lain, yaitu bahwa Allah memerintahkan berburu setelah ihram, padahal Allah telah melarangnya selama ihram. Firman-Nya: Dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. (TQS. al-Maidah [5]: 1) Jadi, berburu setelah ihram selesai hukumnya adalah mubah. Dengan kata lain kembali kepada hukum asalnya sebelum ihram. Contoh lain adalah firman Allah: 
22
Page | 22
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu. (TQS. al-Jumuah [62]: 10) Hukum bertebaran (di muka bumi) adalah mubah, qarinahnya karena Allah memerintahkan untuk bertebaran setelah shalat jumat, padahal sebelumnya Allah melarang bertebaran ketika shalat jumat, tampak pada ayat sebelumnya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (TQS. al-Jumuah [62]: 9) Berarti bertebaran (di muka bumi untuk mencari rizki) setelah shalat jum‟at hukumnya mubah, karena kembali kepada hukum asalnya sebelum shalat dan sebelum adanya larangan. Qarinah-Qarinah yang menjelaskan jenis suatu tuntutan. Qarinah menurut bahasa, diambil dari qarana asy-syai-a, yang berarti mengumpulkan dan menyertainya. Ini berarti, segala sesuatu yang menjelaskan jenis suatu tuntutan dan membatasi pengertiannya apabila digabungkan dan disertakan dengan tuntutan tersebut. Untuk membatasi hukum syara tentang perbuatan manusia harus ditempuh dua langkah berikut. 1. Mencari dalil yang menentukan (adanya) tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau pun meninggalkannya. 2. Mencari qarinah, yang apabila digabungkan dengan dalil yang pertama akan menjelaskan jenis tuntutan dan membatasi pengertiannya. Qarinah itu terbagi menjadi tiga bagian:
23
Page | 23
1. Qarinah yang menunjukkan kepastian (jazm), yaitu qarinah yang menentukan fardlu dan haram (berupa tuntutan yang bersifat pasti untuk mengerjakan atau meninggalkan). Diantaranya adalah: a. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan maupun perbuatan terhadap siksa dunia dan akhirat, atau yang semakna dengannya. Disebabkan ditinggalkan atau dilaksanakannya suatu perbuatan. Seperti firman Allah: „Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?‟ Mereka menjawab: „Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat‟. (TQS. al-Mudatstsir [74]: 42-43) Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (TQS.al-Maidah [5]: 38) Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka). (TQS. an-Nisa [4]: 10) b. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan ataupun perbuatan terhadap keharusan dilaksanakannya suatu perbuatan secara terus menerus kecuali ada alasan, rukhsah, qadla atau pengampunan. Contohnya firman Allah:
24
Page | 24
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa dinatara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (TQS. al-Baqarah [2]: 183-184) Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. (TQS. al-Maidah [5]: 6) Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang tidur, lalu meninggalkan shalat atau lupa maka shalatlah ketika telah ingat.9
Kaum wanita dimaafkan dari mengqadla shalat selama masa haidnya. Hal itu telah
25
Page | 25
diterangkan dalam hadits dari Fatimah binti Hubaisy, Rasulullah saw bersabda: Tinggalkanlah shalat pada masa-masa haidmu.10 c. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan ataupun perbuatan terhadap keharusan dilaksanakannya suatu perbuatan meskipun dalam keadaan sulit tanpa bisa diganti dengan yang lainnya. Allah Swt berfirman: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. (TQS. al-Baqarah [2]: 216) Rasulullah saw senantiasa menetapi thariqah (metode) tertentu untuk menegakkan Daulah (negara), yaitu thalabun nushrah. Dalam menjalankannya Rasulullah saw menanggung beban kesulitan tetapi tidak merubah thariqah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa thalabun nushrah untuk menegakkan Daulah Islamiyah hukumnya wajib.
Ibnu Hisyam dalam (kitab) sirahnya berkata, Ibnu Ishak berkata, ketika Abu Thalib meninggal orang-orang kafir Quraisy mempunyai kesempatan untuk menyakiti Rasul tidak seperti pada masa hidupnya Abu Thalib. Kemudian Rasul keluar ke (daerah) Thaif untuk mencari pertolongan dari bani Tsaqif dan memperoleh pembelaan dari kaumnya. Dengan harapan mereka mau menerima Islam yang dibawa Rasul dari Allah Swt. Setelah itu Rasul keluar sendirian menuju bani Tsaqif, …sampai perkataan … namun mereka menolak, malahan menyuruh orang-orang yang lemah akalnya dan hamba-
26
Page | 26
hamba sahaya mereka untuk menghujat dan melempari beliau. Ibnu Ishak berkata, Ibnu Syihab az-Zuhri telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah saw mendatangi kabilah Kindah di tempat tinggal mereka dan (mendatangi) para pembesarnya. Kemudian beliau mengajak mereka (menyembah) Allah Swt dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi mereka menolaknya. Ibnu Ishak berkata, sebagian sahabat kami telah menceritakan, dari Abdullah bin Malik, bahwa Rasulullah saw mendatangi tempat tinggal kabilah Hanifah, lalu mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang Arab itu yang lebih keji penolakannya selain mereka.
Ibnu Ishak berkata, telah berkata az-Zuhri bahwasanya Rasulullah mendatangi bani Amir bin Sha‟sha‟ah, mengajak (untuk menyembah) Allah dan agar mereka (menjadi) pengikut beliau. Lalu salah seorang dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas berkata: „Demi Allah, seandainya aku mengambil (dan mengikuti) pemuda Quraisy ini, maka orang-orang Arab akan menyerang kita‟. Kemudian melanjutkan perkataannya, „Bagaimana pendapatmu jika kami membaiatmu agar tunduk pada perkara (yang engkau bawa) kemudian Allah memenangkan pengikut-pengikutmu, apakah kami yang akan memperoleh (kepemimpinan) setelah engkau? Rasul menjawab: „Perkara itu adalah urusan Allah, Dialah yang akan memberikannya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya‟. Orang itu berkata lagi: „Apakah pandangan orang-orang Arab kepada kami tidak akan sempurna tanpa kehadiranmu. Dan apakah Allah akan memenangkanmu dengan perkara ini tanpa
27
Page | 27
(dukungan) kami? Kami tidak memerlukan perkara engkau‟. Dan merekapun menolak. Aktivitas thalabun nushrah juga dilakukan beliau terhadap bani Syaiban, mereka menyambutnya, dan mereka tidak akan memerangi pasukan berkuda Rasulullah (yang melewati daerah mereka). Namun, ketika mereka mengetahui bahwa Rasul meminta mereka untuk membela Islam, dan agar menyampaikannya kepada seluruh manusia, namun mereka menolak. Rasulullah saw tetap melakukan aktivitas thalabun nushrah terhadap berbagai kabilah, tanpa merubah thariqahnya dengan thariqah yang lain, meskipun mengalami penolakan dan kesulitan sebagaimana yang telah terjadi, meskipun mengalami pengainiayaan yang amat berat terhadap fisik Rasul yang mulia. Hal itu terus berlanjut sampai Allah memberikan pertolongan dengan sikap (penerimaan) orang-orang Anshar yang menyambut seruannya. Lalu terjadi baiat Aqabah kesatu dan kedua, diikuti hijrah ke Madinah dan berdirinya Daulah Islamiyah. Sabda Rasulullah saw: Seandainya tidak memberatkan umatku, aku akan perintahkan untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.11
Wajhu al-istidlal dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah memerintahkan kamu Muslim untuk bersiwak setiap kali hendak shalat, tetapi akan muncul kesulitan jika hal itu dipahami wajib. Maka Rasul tidak memerintahkan hal itu karena khawatir memberatkan mereka. Artinya, bahwa perbuatan yang dikerjakan itu amat berat jika Rasul saw memerintahkannya sebagai suatu kewajiban.
28
Page | 28
d. Berupa penjelasan terhadap suatu perkara bahwa hukumnya wajib, topiknya fardlu, atau penunjukannya merupakan penjagaan terhadap Islam. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw: Ambillah dariku manasik (haji) kalian.12 Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.13 Firman Allah Swt: Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. (TQS. Ali Imran [3]: 104) Rasulullah saw bersabda: Ajarkanlah anak-anak kalian shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak shalat) pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur.14 e. Berupa penjelasan untuk melaksanakan suatu perkara berdasarkan pilihan diantara beberapa hukum yang telah dibatasi tidak bisa memilih (hukum) lainnya. Contohnya adalah firman Allah: Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. (TQS. an-Nisa [4]: 86)
29
Page | 29
Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. (TQS. al-Maidah [5]: 89) f. Berupa penjelasan tentang berulang-ulangnya suatu perbuatan, andaikata tidak ada kewajiban maka akan menjadi terlarang. Contohnya adalah tambahan dua ruku pada shalat khusuf. Sebab, menambah satu rukun fi‟li (rukun perbuatan) secara sengaja akan membatalkan shalat. Jadi andaikata dua ruku itu tidak diwajibkan akan menjadi terlarang, yaitu menjadi sesuatu yang membatalkan shalat. Pengulangan Rasul terhadap rukun tersebut menunjukkan bahwa rukun itu wajib. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra tentang shalat khusuf. Aisyah berkata: Pernah terjadi gerhana matahari di masa Rasul. Kemudian Rasulullah saw berdiri malakukan shalat dan memanjangkan (memperlama) berdirinya, kemudian ruku dan memanjangkan rukunya, lalu mengangkat kepalanya dan memperlama berdirinya namun lebih singkat dari berdiri yang pertama. Setelah itu ruku dan memperlama rukunya namun lebih singkat dari ruku yang pertama. Kemudian sujud …… sampai akhir hadits.
g. Penyebutan lafadz yang menunjukkan wajib, fardlu atau haram didalam nash yang menjelaskan tuntutan terhadap suatu
30
Page | 30
perbuatan. Contohnya adalah firman Allah Swt: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yangmeninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. (TQS. an-Nisa [4]: 11) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu. (TQS. an-Nisa [4]: 23)

31
Page | 31
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai. (TQS. al-Baqarah [2]: 173) Rasulullah saw bersabda: Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali ada mahram yang menyertainya.15 h. Sifat suatu perbuatan yang memberitahukan larangan yang bersifat pasti, seperti siksaan dan kemurkaan dari Allah, celaan, atau sifat buruk seperti keji atau pekerjaan setan, penafian iman atau penafian Islam, dan lain-lain. Contohnya adalah firman Allah: Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (TQS. an-Nisa [4]: 22) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (TQS. ash-Shaff [61]: 3) Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (TQS. an-Nahl [16]: 106) 
Sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
32
Page | 32
perbuatan-perbuatan itu. (TQS. al-Maidah [5]: 90) Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (TQS. an-Nisa [4]: 22) Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 28) Rasulullah saw bersabda: Penghuni rumah manapun yang nyenyak tidur sedangkan di sekitar mereka terdapat seseorang yang lapar, maka mereka tidak akan mendapatkan jaminan Allah.16 i. Apabila tuntutan disertai dengan kata iman atau perkara yang semakna dengan kata iman. Misalnya jika diikuti oleh ungkapan „Barangsiapa yang mengharapkan keridlaan Allah dan hari akhir‟. Ini merupakan qarinah atas (hukum yang) wajib. Contohnya adalah firman Allah: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat. (TQS. al-Ahzab [33]: 21)
33
Page | 33
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (TQS. an-Nisa [4]: 59) Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa „iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. (TQS. al-Baqarah [2]:232) j. Apabila suatu tuntutan disertai dengan larangan terhadap perkara yang mubah. Contohnya adalah: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum‟at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tingalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (TQS. al-Jumuah [62]: 9) k. Perintah terhadap ibadah tathawwu (sunnat) atau sedekah setelah perintah terhadap pokok suatu topik, merupakan qarinah bahwa tuntutan terhadap pokok itu bersifat pasti. Allah Swt berfirman:
34
Page | 34
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 280) Perintah untuk bersedekah kepada orang yang mempunyai utang, yaitu dengan membebaskan seluruh atau sebagian utangnya setelah perintah untuk memberikan tempo (waktu pembayaran) utang, memberikan arti bahwa memberikan tempo (waktu) terhadap orang yang berutang jika (ia) miskin hukumnya wajib bagi orang yang berpiutang. l. Apabila tercakup dalam kaidah: „Suatu kewajiban tidak akan sempurna (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu tersebut (hukumnya) adalah wajib‟. Jadi, jika ada kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu tadi menjadi wajib. Dalam hal ini disyaratkan bahwa perkara yang menjadi penyempurna harus merupakan bagian dari perkara yang wajib. Misalnya, rukun shalat yang dikaitkan dengan shalat. Apabila bukan menjadi bagian dari yang wajib, seperti wudlu maka diperlukan dalil lain yang menunjukkan kewajibannya, karena wudlu bukan bagian dari shalat melainkan syarat.
2. Qarinah yang memberikan arti tidak pasti, yaitu qarinah yang harus ada untuk menentuan hukum makruh dan mandub (yaitu tuntutan yang bersifat tidak pasti untuk meninggalkan
35
Page | 35
perbuatan dan melakukan perbuatan). Antara lain: a. Tuntutan untuk mengerjakan atau tuntutan untuk meninggalkan, yang menunjukkan kepada tarjih, yang tidak disertai qarinah-qarinah yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw: Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah.17 Allah itu bersih dan menyukai kebersihan.18 Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam, yaitu mengucapkan salam ketika bertemu, memenuhi undangan ketika diundang, mendo‟akan orang yang bersin, menengok ketika sakit, mengikuti jenazahnya sampai ke kubur, dan mencintai sesama muslim seperti mencintai dirinya sendiri.19 Dari „Uqbah dari Amru, bahwa Rasulullah saw melarang (pekerjaan) berbekam.20 Sekelompok orang datang kepada Nabi, dan beliau mencium bau bawang. Lalu bersabda: Bukankah aku telah melarang kalian memakan pohon ini? Sesungguhnya malaikat tidak menyukai perkara yang juga tidak disukai oleh manusia.21
b. Berkumpulnya tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan taqrir (diamnya) Rasul terhadap suatu perbuatan. Contohnya adalah
36
Page | 36
hadits Rasulullah saw tentang larangan berobat dengan perkara yang diharamkan. (khamar). Rasulullah bersabda: Sesungguhnya (khamar) itu bukan obat tetapi penyakit.22 Dan hadits tentang suatu kaum yang meminta izin kepada Rasul untuk meminum air kencing dan susu unta sebagai obat bagi mereka. Dari anas bin Malik dikatakan bahwa sekelompok orang datang ke Madinah. Kemudian Nabi memerintahkan mereka untuk mengikuti penggembala (Nabi), maksudnya unta. Lalu mereka minum air susu dan air kencing (unta)nya.23 Air kencing adalah najis. Meminumnya adalah diharamkan. Dalam hadits pertama Rasulullah melarang berobat dengan perkara yang diharamkan. Sedangkan dalam hadits kedua Rasul mengakui (membiarkan) berobat dengan yang diharamkan (meminum air kencing unta). Maka, larangan yang disertai dengan pengakuan memberikan arti makruhnya berobat dengan perkara yang diharamkan. c. Apabila suatu aktivitas tergolong taqarrub kepada Allah, tetapi tidak termauk cakupan pada pembahasan poin kesatu. Contohnya adalah sabda Rasulullah saw: Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada muslim yang lain sebanyak dua kali, melainkan sama dengan memberikan sedekah satu kali.24
37
Page | 37
Apabila salah seorang bersedekah dengan sedekah yang baik -Allah tidak menerima kecuali yang baik- maka sedekah itu akan diambil oleh Allah dengan tangan kanan-Nya. Apabila sedekah tersebut berupa kurma maka dalam telapak tangan ar-Rahman tanahnya akan menjadi lebih besar dari gunung, kemudian Allah akan memeliharanya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kuda atau anak untanya.25 Bahwasanya Rasulullah saw memerintahkan shaum pada hari bid, yaitu tanggal 13,14,15. Dan beliau bersabda: „Shaum pada hari bid sama dengan shaum setahun atau seperti keadaan shaum selama satu tahun.26 Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya doa adalah ibadah.27 3. Qarinah yang memberikan arti sama antara tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau tergolong ibahah. Antara lain: a. Berupa penjelasan bahwa Rasulullah saw melaksanakan suatu aktivitas pada suatu waktu dan meninggalkannya pada waktu yang lain. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan Imam Thabrani yang mengeluarkan hadits dalam kitab al-Ausath:
Bahwasanya ada jenazah (yang lewat) di hadapan Ibnu Abas dan Hasan bin Ali, kemudian salah seorang berdiri dan yang
38
Page | 38
lainnya tetap duduk. Maka orang yang berdiri berkata kepada yang duduk: „Bukanlah Rasul saw suka berdiri ketika melihat jenazah? Orang yang duduk berkata: „Benar, akan tetapi (beliau) kadang-kadang duduk‟.28 Saya memahami dari fenomena tersebut bahwa duduk dan berdiri ketika melihat jenazah hukumnya ibahah. b. Penjelasan tentang pengampunan atas suatu perbuatan dalam pensyariatan secara umum tanpa adanya alasan. Rasulullah pernah ditanya tentang gemuk, keju, dan bulu binatang. Kemudian beliau bersabda: Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Sedangkan perkara yang tidak diceritakan Allah dalam kitab-Nya termasuk perkara yang dimaafkan bagi kalian.29 c. Apabila termasuk perbuatan-perbuatan jibiliyyah yang berkaitan dengan khasiat-khasiat tubuh. Dan termasuk perkara-perkara yang diciptakan oleh Allah dan ditundukkan bagi manusia, selama tidak ada pengkhususan atau taqyid terhadap keduanya. Allah Swt berfirman: Dan Dia telah menundukkan pula bagimu sungai-sungai. (TQS. Ibrahim [14]: 32) Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya. (TQS. al-Jaatsiyah [45]: 12) 
39
Page | 39
Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah. (TQS. al-Baqarah [2]: 60) Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (TQS. al-A‟raaf [7]: 31) Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (TQS. al-A‟raaf [7]:185) Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah. (TQS. al-An‟aam [6]: 99) Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. (TQS. al-Mulk [67]: 15) Dari Khalid bin Walid: Bahwa (kepada) Rasulullah saw dihidangkan biawak bakar. Rasul mendekatkan diri dan mengulurkan (tangan) untuk memakannya, tetapi orang-orang yang hadir berkata: „Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah daging biawak‟. Kemudian beliaupun menarik (kembali) tangannya. Khalid bin Walid berkata: „Wahai Rasulullah apakah (daging) biawak itu haram? Rasul menjawab: „Tidak, tetapi (hal itu) tidak terdapat di daerahku sehingga aku enggan memakannya‟. Setelah itu Khalid berselera (menginginkan daging) biawak itu dan memakannya. Sedangkan Rasulullah saw melihatnya.30
d. Setiap perbuatan haram atau yang dilarang dengan pasti karena suatu sebab, kemudian setelah hilang sebabnya kembali menjadi halal.
40
Page | 40
Penghalalan itu berarti (hukumnya) ibahah. Namun, jika larangan tersebut karena adanya penghalang (mani‟), lalu setelah penghalang itu hilang kembali dihalalkan, maka penghalalannya berarti kembali kepada hukum sebelum adanya penghalang, baik itu wajib, mandub, ataupun mubah. Dengan kata lain, penghalalan setelah pengharaman karena adanya penghalang tidak menunjukkan apapun. Contohnya adalah bolehnya bertebaran untuk mencari rizki setelah shalat Jum‟at, dan bolehnya berburu setelah selesai (melaksanakan) ihram (lihat hukum atas perbuatan manusia yang mubah). Adapun setelah halangan (itu hilang) maka hukumnya kembali menjadi ibahah, nadb atau fardlu. Artinya, tidak mempunyai penunjukkan apapun. Menyentuh mushaf boleh bagi orang yang bersuci. Apabila terdapat penghalang, maka diharamkan. Dan jika penghalang itu tidak ada maka menyentuh mushaf kembali kepada hukum asalnya. Shalat fardlu, karena ada penghalang menjadi diharamkan; apabila penghalangnya telah hilang, maka hukumnya kembali seperti asalnya, yakni wajib. Shalat sunnat, hukumnya mandub sebelum adanya larangan. Ketika ada penghalang menjadi haram. Dan jika penghalangnya telah hilang maka kembali kepada hukum asalnya, yakni mandub.
Memahami berbagai qarinah dan penunjukannya yang bersifat pasti ataupun tidak pasti atas suatu tuntutan merupakan perkara yang memerlukan pengerahan segenap kemampuan dan perhatian. Sebab, hukum syara selalu berkaitan dengan perkara ini dan berdiri di atasnya. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada orang yang
41
Page | 41
menolong agama Allah, serta benar dan ikhlas dalam amalnya. KHITHAB SYARI‟ YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN HAMBA DENGAN PENETAPAN WADL‟I, YANG MENJELASKAN PERKARA YANG DITUNTUT KEBERADAANNYA OLEH HUKUM, DISEBUT JUGA KHITHAB AL-WADL‟I Perbuatan manusia yang ada di alam ini telah dijelaskan hukumnya dengan datangnya seruan Syâri‟. Syâri‟ juga telah menetapkan atas hukum-hukum tersebut perkara-perkara yang keberadaannya dituntut oleh hukum, (yaitu) perkara yang menjadi penentu ada tidaknya hukum, atau (yang menyangkut) kesempurnaan hukum. Dengan kata lain ditujukan bagi perkara yang keberadaannya diharuskan bagi hukum syara. Itulah yang disebut dengan khithab wadl‟i, yaitu seruan yang berkaitan dengan perkara yang keberadaannya diharuskan oleh hukum. Perkara itu ada lima bagian: 1. Sabab 2. Syarat 3. Mani‟ (penghalang) 4. Sah, batal dan fasad 5. „Azimah dan rukhshah I. SABAB Yaitu sifat yang dibatasi, yang ditunjukan oleh dalil sam‟i sebagai pemberitahu adanya (terwujudnya) hukum, bukan sebagai pemberitahu disyari‟atkannya hukum. Contohnya adalah firman Allah Swt: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (TQS. al-Isra [17]: 78)
42
Page | 42
Rasulullah saw bersabda: Apabila matahari tergelincir, maka shalatlah kalian.31 Ayat dan hadits tersebut menjelaskan bahwa tergelincirnya matahari merupakan tanda yang memberitahukan terwujudnya shalat. Artinya, jika dijumpai (matahari tergelincir) waktu itu, maka shalatpun terwujud, tentu dilakukan apabila telah terpenuhi pula syarat-syarat lainnya. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa tergelincirnya matahari merupakan tanda bagi wajibnya shalat. Dalil wajibnya shalat adalah dalil-dalil yang lain, seperti firman Allah Swt: Dan dirikanlah shalat. (TQS. an-Nuur [24]: 56) Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 103) Begitu pula dengan (contoh-contoh) sabab lainnya, seperti firman Allah Swt: Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu. (TQS. al-Baqarah [2]: 185) Rasulullah saw bersabda: Berpuasalah kalian karena melihat hilal.32
Ayat dan hadits di atas menjelaskan bahwa terbit dan dilihatnya (kemunculan) hilal merupakan
43
Page | 43
tanda yang memberitahu keberadaan (terwujudnya) shaum Ramadlan, tetapi bukan tanda bagi wajibnya shaum. Wajibnya shaum diterangkan dengan nash lain, yaitu: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa. (TQS. al-Baqarah [2]: 183) Adanya nishab merupakan sebab adanya (terwujudnya) zakat. Akad yang sah secara syar‟i merupakan sebab dibolehkannya memanfaatkan atau memindahkan harta milik. Keadaan terpaksa (idlthirar) merupakan sebab dibolehkannya (makan) bangkai. Maksud dari contoh-contoh itu adalah, bahwa sabab-lah yang memberitahu adanya (terwujudnya) suatu hukum, bukan yang lain. Sedangkan yang mewajibkan hukum berupa dalil (lain) yang datang dalam bentuk perintah yang pasti. Dalil (tentang) sabab mencakup/meliputi tanda yang memberitahu adanya (terwujudnya) hukum. Adanya sabab membawa implikasi kepada adanya (terwujudnya) hukum, dan tidak adanya sabab membawa implikasi kepada tidak terwujudnya hukum. II SYARAT
Syarat adalah sifat yang menyempurnakan perkara (yang disyaratkan), atas perkara yang dituntut oleh hukum, atau atas perkara yang dituntut oleh (perkara) yang disyaratkan itu. Yang dimaksud kondisi yang pertama, syarat dikembalikan kepada khithab taklif. Yang membutuhkan adanya sifat untuk menyempurnakan kondisi tersebut bukanlah masyrut (perkara yang disyaratkan), melainkan hukum yang ada di dalam masyrut. Seperti, shalat adalah masyrut. Dan syarat (sifat yang menyempurnakan) bukan menyangkut tata cara shalat, melainkan hukum yang ada di dalam shalat,
44
Page | 44
(yaitu) kewajiban menunaikannya. Artinya, kewajiban menunaikan shalat mengharuskan adanya syarat, yaitu wudlu. Dalam kondisi ini syarat menyempurnakan perkara yang dituntut oleh hukum pada masyrut. Dalam hal ini masyrutnya adalah shalat, dan shalat merupakan khithab taklif, maka syarat disini dikembalikan kepada khithab taklif. Begitu juga halnya dengan menutup aurat di dalam shalat, berniat di malam hari shaum Ramadlan, keduanya merupakan syarat bagi hukum yang ada pada masyrut. Yang termasuk kondisi kedua, syarat dikembalikan kepada khithab wadl‟i, yang membutuhkan adanya sifat untuk menyempurnakan (syarat) -pada kondisi ini- dikembalikan kepada masyrut. Seperti, nishab zakat yang merupakan masyrut, dan masyrut ini membutuhkan sifat yang menyempurnakan, yaitu datangnya haul. Jadi, syarat disini bukan (diperuntukkan) bagi hukum secara langsung, (yaitu) menunaikan zakat. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa datangnya haul adalah syarat pada kewajiban menunaikan zakat, melainkan (dikatakan) datangnya haul adalah syarat pada nishab, sehingga zakat diwajibkan pada nishab tersebut. Syarat di sini adalah bagi nishab, yaitu (bagi) masyrut itu sendiri. Dan masyrut, yaitu nishab merupakan sabab bagi zakat (khithab wadh‟i). Dengan demikian syarat pada kondisi seperti ini dikembalikan kepada khithab wadl‟i. Contoh lainnya, terkait dengan ihshan (sudah menikah) pada kasus zina, dan menyimpan di tempat penyimpanan yang layak pada kasus potong tangan. Kedua syarat itu merupakan syarat bagi sabab.
Syarat, baik yang dikembalikan kepada khithab taklif ataupun kepada khithab wadl‟i sama saja faktanya, yaitu suatu perkara yang dengan tidak ada (keberadaan)nya dipastikan tidak akan ada masyrut;
45
Page | 45
tetapi dengan keberadaannya tidak harus ada masyrut. Tidak ada shalat tanpa wudlu, tetapi bisa jadi ada wudlu namun tidak ada shalat. Begitu juga tidak ada zakat pada harta yang sudah mencapai nishab tanpa datangnya haul. Akan tetapi kadangkala datang haul namun tidak ada kewajiban zakat, karena berubahnya nishab, atau mempunyai hutang, atau karena hal lainnya. Jadi adanya syarat tidak memastikan adanya masyrut, tetapi tidak adanya syarat memastikan tidak akan ada masyrut. Inilah perbedaan antara sabab dengan syarat. Terdapat perbedaan antara syarat dan rukun, yaitu jika tidak ada keduanya, menyebabkan tidak akan ada yang lain. Syarat merupakan sifat yang menyempurnakan masyrutnya. Syarat itu berbeda dengan masyrut. Wudlu misalnya, merupakan syarat bagi sahnya shalat, dan wudlu bukan bagian dari shalat. Sedangkan rukun merupakan bagian dari sesuatu dan tidak bisa dipisahkan. Dan sesuatu itu tidak sempurna tanpa keberadaannya. Contohnya adalah ruku di dalam shalat, merupakan bagian dari shalat yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu disebut rukun, bukan syarat. Selain itu, bahwa syarat, baik yang dikembalikan kepada hukum taklif atau dikembalikan kepada hukum wadl‟i harus ada dalil yang menunjukkannya secara langsung, sehingga bisa disebut syarat. Contohnya, wudlu merupakan syarat bagi hukum taklifi (shalat), karena Allah telah menyatakan dalam firman-Nya: Apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (TQS. al-Maidah [5]: 6)
46
Page | 46
Menyimpan benda pada tempat yang semestinya (al-hirzu) merupakan syarat pada hukum wadl‟i (yaitu penyebab potong tangan dalam kasus pencurian). Karena Rasulullah saw telah menyatakannya, sehingga beliau bersabda ketika menjelaskan potong tangan pada pencurian binatang ternak: Binatang ternak yang diambil dari tempat pemeliharaannya, maka padanya terdapat potong tangan. Ketika binatang yang diambil telah sampai pada harga al-majnu. adalah tempat pemeliharaan, yang disebut juga dengan zaribah. Berkaitan dengan buah-buahan Rasulullah saw bersabda: Buah-buahan yang diambil dari tempat penyimpanannya (al-khaza‟in) padanya terdapat potong tangan apabila telah sampai pada harga al-majnu (nishab pencurian). Al-Khaza‟in adalah tempat penyimpanan (gudang) buah-buahan. Dan tsaman al-majnu merupakan nishab pencurian. Begitu juga dengan yang lainnya. Jadi, setiap syarat di dalam hukum taklifi dan hukum wadl‟i wajib ada dalil yang menunjukkannya secara langsung sehingga dianggap sebagai syarat.
Hanya saja syarat-syarat bagi akad dikecualikan dari perkara ini, sehingga seseorang bisa mengajukan syarat menurut keinginannya, baik ada nash yang menunjukkan syarat tersebut secara langsung ataupun tidak ada. Dengan catatan, bahwa syarat yang diajukannya itu tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang syar‟i.
47
Page | 47
Misalnya bertentangan dengan konsekwensi akad, atau bertentangan dengan syarat yang telah ditentukan oleh syara. Dalam kondisi ini syarat itu tidak sah dan tidak bisa dijadikan pegangan. Sebagai contoh, diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthalib ra menyerahkan hartanya untuk dijadikan modal dalam syirkah mudlarabah. Dia mensyaratkan kepada pengelola (mudlarib) agar tidak boleh membawa hartanya melalui lautan dan tidak boleh menuruni lembah, tidak boleh membeli (dengan harta tersebu) benda yang basah. Apabila dia melakukan hal itu maka dia bertanggung jawab terhadap kerugiannya. Kejadian ini sampai kepada Rasulullah saw dan beliau memandang baik syarat yang diajukan oleh Abbas. Diriwayatkan dari Jabir bahwa dia berjalan di atas unta miliknya yang telah kepayahan, sehingga dia bermaksud untuk menahannya. Jabir berkata, Nabi saw mengikutiku dan memanggilku, kemudian Nabi memukul untaku sehingga bisa berjalan lagi sebagaimana sebelumnya. Lalu Nabi berkata: „Juallah unta itu kepadaku‟. Aku berkata: „Tidak‟. Nabi berkata lagi: „Juallah kepadaku‟. Kemudian aku menjualnya, kecuali muatan yang ada di punggungnya untuk diberikan kepada keluargaku. Syarat-syarat yang diajukan oleh Abbas adalah syarat yang tidak dinyatakan oleh syara, yaitu tidak ada dalil yang menyatakan (disyaratkan) tidak boleh menempuh lautan, lembah, dan tidak boleh menukar dengan yang basah pada akad mudlarabah. Berdasarkan hal itu maka Abbas membuat persyaratan. Syarat yang diajukan oleh Jabir ra, tidak ditentukan oleh dalil, (yaitu) tidak ada dalil yang mengatakan disyaratkannya pengecualian (berupa) muatan untuk disampaikan kepada keluarganya ketika menjual hewan. Berdasarkan dalil ini Jabir mensyaratkannya.
Dalam hal ini tidak bisa dikatakan, bahwa Rasulullah telah mengakui kedua syarat itu (yang
48
Page | 48
diajukan Abbas dan Jabir), sehingga itu dijadikan dalil. Pernyataan semacam ini tidak dapat diterima karena kedua syarat tersebut telah diajukan sebelum adanya pengakuan dari Rasul. Jadi, tidak ada dalilnya sebelum diajukan sebagai syarat. Pengakuan Rasulullah itu menunjukkan bahwa syarat tersebut tidak bertentangan dengan syara. Dengan demikian syarat tersebut legal dan dibenarkan. Namun demikian, jika syarat tersebut bertentangan dengan syara, maka syarat itu tidak legal dan tidak dapat dibenarkan. Contohnya, jika seseorang menjual suatu barang kepada yang lain, kemudian dia mensyaratkan kepadanya agar tidak menjualnya kepada yang lain. Syarat seperti ini tidak bisa dijalankan dan tidak dapat dibenarkan. Orang yang membelinya boleh menjual barang tersebut kepada siapapun yang dia kehendaki. Syarat tersebut tidak bisa dijadikan pegangan karena bertentangan dengan implikasi akad. Seorang pembeli, jika telah memiliki suatu barang maka konsekwensi kepemilikannya memberikan kepadanya hak untuk memanfaatkan (hak) miliknya, baik dengan cara menghabiskannya, memanfaatkannya, maupun menukarnya dengan barang lain. Suatu ketika Barirah (seorang hamba sahaya mukatabah), yang ingin bebas dengan membayar (sendiri) dengan harga tertentu kepada tuannya. Akan tetapi Aisyah ra yang membayar harga tersebut hingga bebas. Artinya wala (loyalitas) Barirah beralih kepada Aisyah. Sayangnya, pemilik (tuannya) yang lama setuju untuk menjualnya kepada Aisyah, tetapi wala (loyalitas)nya tetap pada pemilik lama (tuan yang sebelumnya). Syarat semacam ini tidak dapat diterima dan batal, karena bertentangan dengan syara. Rasulullah saw bersabda:
49
Page | 49
Wala (loyalitas) adalah bagi yang membebaskan, bukan bagi yang menjual. Aisyah –ummul mukminin- kemudian membeli dan membebaskan Barirah sehingga loyalitas Barirah beralih kepada Aisyah. Rasulullah saw bersabda kepada Aisyah: Belilah dia lalu bebaskanlah, dan buatlah syarat menurut kehendakmu. Walhasil, syarat-syarat hukum taklif dan hukum wadh‟i tidak sah dan tidak dianggap sebagai syarat kecuali disertai dalil yang menerangkan syarat tersebut beserta nashnya, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang wudlu dan harta tersimpan di tempat yang semestinya. Khusus untuk akad, meskipun termasuk hukum wadl‟i -karena termasuk sabab- tetapi syaratnya berbeda-beda. Seseorang bisa mensyaratkan sekehendaknya baik ada dalil syara yang menunjukkannya ataupun tidak ada. Dengan catatan tidak boleh syaratnya bertentangan dengan syariat. Hal ini telah kami jelaskan pada syarat-syarat mudlarabah, menjual unta, menjual barang dan memerdekakan hamba sahaya. III.Mani‟ (halangan) Adalah sifat tertentu yang ditunjukkan oleh dalil-dalil sam‟i (wahyu) yang keberadaan („illat)nya mengharuskan eliminasi atas „illat sesuatu yang dilarangnya. Dengan kata lain mani‟ adalah perkara yang mengharuskan adanya „illat yang bertentangan dengan „illat perkara yang dilarang. Dari definisi ini tampak jelas bahwa mani‟ merupakan lawan dari sabab, atau lawan dari suatu hukum.
Contohnya, kekerabatan adalah menjadi sabab penerimaan harta warisan. Sedangkan membunuh
50
Page | 50
dengan sengaja adalah mani‟ (halangan) untuk menerima waris. Jadi, mani‟ dalam contoh ini merupakan lawan dari hukum, sehingga dilarang menerima waris. Sementara kekerabatan tetap tidak dilarang. Contoh lainnya adalah, datangnya haul pada nishab yang telah sempurna merupakan syarat dan sabab kewajiban menunaikan zakat. Sedangkan (keberadaan) hutang menjadi mani‟ (penghalang) dari kewajiban menunaikan zakat. Mani‟ dari zakat dalam contoh ini merupakan lawan dari sabab; dengan kata lain menghalangi kesempurnaan nishab. Hal-hal yang bisa menghalangi (mawani‟-jamak dari mani‟) dilihat dari sisi tuntutan dan pelaksanaannya terbagi menjadi dua: 1. Perkara yang keberadaannya tidak datang dengan tuntutan (thalab), (yaitu) sesuatu yang menghalangi tuntutan maupun pelaksanaannya. Seperti hilangnya akal karena tidur atau gila. Hal itu menghalangi tuntutan shalat, shaum, jual beli dan hukum-hukum yang lainnya. Termasuk menghalangi pelaksanaan hukum-hukum tersebut. Haid dan nifas juga menghalangi shalat, shaum dan masuk ke dalam masjid. Termasuk juga menghalangi pelaksanaannya. Jadi, haid dan nifas merupakan penghalang dari asal tuntutan (shalat, shaum, dan masuk masjid), karena suci dari haid dan nifas merupakan syarat dalam shalat, shaum dan masuk ke dalam masjid.
2. Perkara yang mungkin berkumpul bersama tuntutan. (Yaitu) penghalang yang menghalangi tuntutan tetapi tidak menghalangi pelaksanaannya. Seperti, kewanitaan (jenis kelamin wanita) yang dihubungkan dengan shalat Jum‟at. Begitu juga baligh yang dihubungkan dengan shaum. Sifat kewanitaan merupakan penghalang dari tuntutan shalat Jum‟at (shalat Jum‟at tidak wajib bagi wanita), dan status sebagai anak-anak menghalangi
51
Page | 51
tuntutan shaum dan shalat atas anak kecil. Alasannya, shalat Jum‟at tidak wajib bagi wanita, juga shalat dan shaum tidak wajib atas anak-anak. Namun, jika wanita melaksanakan shalat Jum‟at dan anak kecil melaksanakan shalat dan shaum, maka semuanya termasuk ibadah yang sah dari keduanya (baik wanita maupun anak kecil), karena penghalang di sini hanya menghalangi dari tuntutan, tidak menghalangi pelaksanaannya. Seluruh sabab-sabab keringanan (rukhshah) merupakan penghalang dari tuntutan, bukan dari pelaksanaannya. IV. Shihah, buthlan dan fasad a. Shihah (sah). Adalah kesesuaian dengan perintah Syâri‟. Terkadang shihah dimaksudkan dengan perolehan dampak positif dari suatu perbuatan di dunia. Sering diartikan pula dengan perolehan dampak positif suatu perbuatan di akhirat. Contohnya, dengan memenuhi rukun-rukun shalat dan syarat-syaratnya maka shalat disebut shalat yang shahihah (sah), (yaitu) shalat tersebut telah mencukupi dan membebaskan dari tanggungan serta menggugurkan dari keharusan mengganti (qadla). Dengan memenuhi seluruh rukun dan syarat jual beli maka jual beli itu disebut jual beli yang shahih. Artinya, jual beli itu bisa membawa implikasi kepemilikan secara syar‟i, dan membolehkannya untuk memanfaatkan barang yang diperjualbelikan serta (hak untuk) mengelola kepemilikan tersebut. Ini dilihat dari sisi implikasi positifnya di dunia. Sedangkan dilihat dari perolehan dampak positifnya di akhirat, maka perkataan kita „shalat yang sah‟ berarti diharapkan akan mendapatkan pahala di akhirat. b. Buthlan (batal).
52
Page | 52
Adalah ketidaksesuaian dengan perintah Syâri‟. Sering diartikan sebagai tidak diperolehnya implikasi positif dari suatu perbuatan di dunia dan diperolehnya siksaan di akhirat atas perbuatan tersebut. Ini berarti perbuatan tersebut tidak mencukupi dan tidak bisa membebaskan dari tanggungan. Shalat, apabila salah satu dari rukunnya ditinggalkan, maka shalatnya batal. Jual beli, apabila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka disebut jual belinya batal. Jual beli yang batal membawa implikasi haramnya pemanfaatan barang yang diperjualbelikan, dan pelakunya akan memperoleh siksaan di akhirat. Oleh karena itu, batal membawa implikasi di dunia yang juga berdampak di akhirat. Contohnya, jual beli malaqih adalah jual beli yang ditinjau dari asasnya batal. Sebab, asalnya dilarang. Jual beli semacam ini termasuk jual beli yang majhul (samar) pada asal barang yang diperjualbelikan. Begitu pula jual beli dlarbah al-qanish (yaitu yang dikeluarkan oleh pemburu dari kantongnya) dan al-ghâish (yaitu menjual ikan yang terdapat di dalam bubu). Kedua jenis jual beli tersebut adalah jual beli yang batal, karena tergolong jual beli yang samar pada ma‟qud alaih (yaitu barang yang diperjualbelikan). c. Fasad
Fasad33 berbeda dengan batal. Batal adalah ketidaksesuaian dengan perintah syara, dilihat dari asalnya suatu perbuatan. Jadi, cacat terdapat pada rukun suatu perbuatan atau yang kedudukannya setara. Misalnya, jika asalnya dilarang, seperti jual beli malaqih atau jika syaratnya tidak dipenuhi yang akan merusak asal suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan fasad, karena asal perbuatannya sesuai dengan perintah syara, tetapi terdapat sifat perbuatan yang tidak
53
Page | 53
merusak pokok suatu perbuatan, hanya bertentangan dengan perintah syara. Karena itu fasad bisa dihilangkan dengan dihilangkan sababnya. Contohnya, jual beli orang kota terhadap orang yang datang dari desa (pedalaman) adalah jual beli fasad, karena (adanya) ketidaktahuan orang yang datang dari desa terhadap harga. Apabila ketidaktahuan ini dihilangkan maka jual belinya menjadi sah. Contoh lainnya, jika seseorang membeli sapi dan disyaratkan sapi itu harus bisa diperas susunya sekian liter, atau seseorang yang menjual kambing dengan syarat harus mengandung janin jantan. Jual beli seperti ini adalah jual beli yang fasad, karena samar pada sifat-sifat dan ukurannya. Bukan pada asal ma‟qud alaih (barang yang diperjual belikan). Contoh lain, jika ada orang-orang yang berserikat pada harta saja (syirkah „inan) tidak pada badan (bukan syirkah „abdan) seperti perserikatan saham secara umum. Syirkah seperti ini adalah batal, karena cacat terdapat pada asal akad, yaitu pada dua pihak yang melakukan akad (transaksi). Namun, jika orang-orang itu berserikat sesuai dengan syarat-syarat syar‟i, hanya saja salah seorang di antara mereka mensyaratkan memperoleh jumlah tertentu, maka syirkah tersebut fasad. Sebab, pada syirkah semacam ini terdapat kesamaran pada sifat. Padahal, seharusnya salah seorang yang berserikat memperolehnya dalam (bentuk) prosentase tertentu dari keuntungan, bukan jumlah tertentu. Karena syirkah terkadang rugi. Apabila orang-orang yang berserikat itu sepakat dengan prosentase tertentu dari keuntungan, fasadnya akad tersebut menjadi hilang dan kembali menjadi shahih.
54
Page | 54
V. „Azimah dan rukhshah „Azimah adalah hukum yang disyariatkan secara umum dan mengikat hamba (manusia) untuk melaksanakannya. Rukhshah adalah hukum yang disyariatkan sebagai keringanan dari „azimah karena adanya alasan tertentu, tetapi hukum „azimah tetap ada (berlaku). Rukhshah tidak bersifat memaksa/mengikat hamba untuk melaksanakannya. Rukhshah dianggap sebagai rukhshah syar‟i jika terdapat dalil yang menunjukkannya. Rukhshah termasuk hukum yang disyariatkan Allah karena adanya „udzur. Contohnya, shaum adalah „azimah. Berbuka shaum bagi orang yang sakit dan musafir adalah rukhshah. Membasuh anggorta badan tertentu pada waktu wudlu adalah „azimah, sedangkan mengusap anggota badan tertentu yang luka adalah rukhshah. Shalat sambil berdiri adalah „azimah, sedangkan duduk ketika shalat bagi orang yang tidak mampu adalah rukhshah. Shalat pada waktunya adalah „azimah, sedangkan pada saat bepergian dan (kondisi) hujan shalatnya (bisa) dijama‟ bukan pada waktunya, ini adalah rukhshah. Shalat dengan rakat yang sempurna adalah „azimah, sedangkan shalat qashar pada saat bepergian adalah rukhshah. Dengan demikian „azimah adalah hukum yang disyariatkan secara umum, tidak dikhususkan berlaku kepada sebagian mukallaf dan tidak berlaku atas mukallaf lainnya. Juga tanpa ada pilihan antara mengamalkan suatu perbuatan dan mengamalkan perbuatan lainnya. Wajib mengamalkan hal itu. Sedangkan rukhshah adalah hukum yang pensyariatannya belakangan (menyusul), karena adanya alasan tertentu. Pensyariatan hukum ini diakui selama terdapat alasan, dan tidak diakui jika alasannya hilang.
Rukhshah dilihat dari aspek pensyariatannya (hukumnya) adalah ibahah. Seseorang dibenarkan
55
Page | 55
terus mengamalkan „azimah, atau mengamalkan rukhshah. Alasan disamakannya (hukum) „azimah dan rukhshah sebagai ibahah karena Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah menyukai dikerjakan rukhshahnya sebagaimana menyukai dikerjakan „azimahnya.34 Hadits ini menjelaskan bahwa rukhshah dan „azimah sama dalam hal ketaatan kepada Allah, dilihat dari sisi pelaksanaannya. Jika tidak ada nash yang menjelaskan bahwa rukhshah atau „azimah (pada kondisi tertentu) pelaksanaannya lebih disukai Allah, hukumnya mubah. Contohnya: (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 184)
Dari ayat ini bisa dipahami bahwa orang yang diberikan keringanan untuk berbuka puasa karena (adanya) alasan padahal dia mampu menjalankan shaum tanpa kesulitan, maka (menjalankan) shaum lebih utama daripada berbuka. Seperti, orang yang
56
Page | 56
bepergian pada jarak rukhshah menggunakan pesawat terbang atau kendaraan cepat, maka dia diperbolehkan untuk shaum dan boleh juga berbuka. Akan tetapi pada kondisi ini (melaksanakan) shaum lebih utama karena petunjuk ayat: „Berpuasa lebih baik bagimu‟. Begitu juga telah riwayat shahih dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: Tidak termasuk kebaikan apabila shaum pada saat melakukan safar. 35 Kejadiannya, karena Rasul melihat seorang lelaki yang bepergian dalam keadaan shaum, tetapi shaumnya telah membuatnya kepayahan. Berdasarkan hal ini bisa dipahami -dari hadits ini- bahwa orang yang safarnya menyulitkan atau melelahkannya, maka berbuka puasa lebih utama daripada (melaksanakan) shaum. Pada kondisi pertama dipahami -dari ayat- bahwa shaum lebih utama, (yaitu) mengambil „azimah lebih utama dari pada mengambil rukhshah. Sedangkan pada kondisi kedua dipahami -dari hadits- bahwa berbuka lebih utama dari pada (melaksanakan) shaum, (yaitu) mengambil rukhshah lebih utama dari „azimah. Apabila tidak terdapat nash yang khusus mengunggulkan antara „azimah dan rukhshah -pada kondisi tertentu-, maka mengambil „azimah atau rukhshah sama-sama mubah. Dalilnya adalah hadits Rasulullah saw yang pertama. HUKUM SYARA YANG MENYELURUH KAIDAH KULLIYYAT
57
Page | 57
Hukum syara adalah seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik berupa tuntutan (al-iqtidla) atau pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan (at-takhyir) sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hukum syara ini kadangkala dihubungkan dengan kata yang (bersifat) khusus sehingga menjadi hukum khusus. Kadangkala juga dihubungkan dengan kata yang (bersifat) umum sehingga menjadi hukum yang umum. Kadang juga dihubungkan dengan kata (yang bersifat) mencakup segala sesuatu sehingga menjadi hukum (yang bersifat) kulliyât. Lafadz khusus adalah setiap lafadz mufrad atau murakkab yang tidak mencakup apapun di bawahnya. Contohnya, kata Zaid, yang menjadi nama bagi seorang laki-laki, atau kata Zaitun sebagai nama pohon, atau kata al-Khalil sebagai nama kota al-Khalil, atau kata Abdullah yang merupakan nama bagi seorang laki-laki. Lafadz umum adalah setiap lafadz mufrad yang mencakup bagian-bagian tetentu di bawahnya. Contohnya kata asy-syajarah (pohon), asy-syarîk (pihak yang berkongsi), al-mayyitah (bangkai), ar-riba, ar-rijâl (aki-laki), al-muslimun. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz-lafadz kulliy36, adalah setiap lafadz murakkab yang mencakup bagian-bagian tertentu (juz‟iyyât) dibawahnya. Seperti ungkapan (ma la yatimmu al-wâjibu illa bihi), atau (al-wasîlatu ilal haram). Kami tidak mengatakan al-wajib atau al-wasîlah, karena jika (dikatakan) seperti itu termasuk lafadz „am. Dengan catatan bahwa al (alif lam) yang ada pada kata al-wajibu atau al-wasîlatu bukan al lil „ahdi. Kami mengatakan (ma lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi), (yaitu) kami mengatakan lafadz murakkab tetapi mencakup beberapa bagian di bawahnya; dikatakan juz‟iyyât bukan dikatakan afrâd, karena lafadznya termasuk lafadz murakkab.
58
Page | 58
Apabila hukum syara dihubungkan dengan lafadz khusus maka menjadi hukum khusus yang tidak berlaku kepada yang lain. Seperti, kesaksian Khuzaimah yang dianggap oleh Rasul setara (dengan) kesaksian dua orang laki-laki. Hukum ini khusus (berlaku) bagi Khuzaimah saja, tidak berlaku kepada yang lain37. Contoh lain adalah kurbannya Abi Burdah dengan seekor kambing yang (telah) lepas satu giginya (usia kurang dari setahun), merupakan (hukum) khusus baginya, karena hukumnya dihubungkan dengan lafadz khusus, yaitu Abi Burdah. Selain kurbannya Abi Burdah tidak sah kecuali dengan kambing yang sudah berusia satu tahun38. Contoh yang sama adalah hukum yang berkaitan dengan tata cara shalat (yang bersifat khusus), seperti shalat sunnat istisqa, shalat jenazah atau shalat khauf. Hukum tata caranya dihubungkan dengan lafadz khusus sehingga menjadi hukum-hukum khusus. Lain lagi jika dihubungkan dengan lafadz umum tanpa adanya pengkhususan (takhsis) atau pengikatan (taqyid). Maka hukum tersebut bersifat umum. Apabila hukum syara dikaitkan dengan lafadz al-mayyitah misalnya, maka hukumnya umum. Firman Allah Swt: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (TQS. al-Maidah [5]: 3) Menunjukan atas haramnya seluruh bangkai, baik yang (mati) tercekik, dipukul atau dibunuh. Termasuk bangkai hewan yang bisa dimakan dagingnya, seperti sapi, kambing; ataupun yang tidak bisa dimakan, seperti singa dan harimau. Begitu pula firman Allah: 
59
Page | 59
Dan mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275) Menunjukkan bahwa seluruh jenis riba diharamkan, baik itu riba fadl maupun riba nasi-ah. Apabila hukum syara dihubungkan kepada lafadz kulliy, maka hukumnya juga hukum kulliy yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Ketika kita menyatakan ungkapan: (mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi fahua wâjibun), maka hukumnya termasuk hukum kulliy, karena dihubungkan dengan lafadz kulliy, yaitu mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi. Hukum tersebut mencakup seluruh bagian-bagiannya. Sebagai contoh, membasuh kedua tangan sampai siku adalah hukumnya wajib dengan ayat wudlu. Masuknya bagian dari kedua siku dalam pembasuhan adalah wajib. Bagian tersebut harus ada untuk mewujudkan pembasuhan kedua tangan sampai kedua siku. Hukum wajib ini diambil dari kaidah (mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi fahua wâjibun). Begitu pula halnya dengan hukum hudud, yang wajib (ditegakkan) berdasarkan nash-nash ayat. Akan tetapi hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan (adanya) Imam (kepala negara). Dari sini maka mengangkat Imam (yaitu Khalifah) bagi kaum Muslim adalah wajib, karena kaidah: (mâ lâ yatimmu al-wâjibu illa bihi fahua wâjibun). Hukum syara secara umum merupakan hukum umum, sedikit sekali yang merupakan hukum khusus. Diantara hukum syara terdapat hukum-hukum kulliy yang digali oleh para mujtahid dari satu atau berbagai macam dalil, karena mereka menemukan bahwa satu atau beberapa dalil tersebut mengandung „illat atau makna yang setara dengan „illat, sehingga mereka mampu membentuk hukum kulliy yang mencakup berbagai bagian.
Hukum kulliy ini dalam istilah ushul fiqih dinamakan dengan kaidah kulliyât. Pada
60
Page | 60
kesempatan ini kami akan menuturkan beberapa kaidah kulliyât, berikut penjelasan bagaimana penggaliannya dari dalil-dalil syara. 1. Dalil kaidah ini adalah firman Allah Swt: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (TQS. al-An‟am [6]: 108) Dalam ayat ini Allah melarang mencaci maki tuhan-tuhan orang-orang kafir ( ). Terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa larangan yang ada dalam ayat tersebut bersifat pasti, yaitu akan menyebabkan caci maki terhadap Allah. Oleh karena itu ayat tersebut menunjukkan haramnya mencaci maki tuhan-tuhan orang-orang kafir. Demikian juga dapat dipahami (dari ayat tersebut) berdasarkan dilalatu tanbîh dan îmâ sebagai akibat penggunaan fa sababiyyah, bahwa „illat dalam pengharaman itu dihasilkan karena mencaci tuhan-tuhan orang kafir, yang akan menyebabkan caci maki terhadap Allah. Dari ayat ini lalu digali (kaidah) bahwa perantara yang akan menghantarkan kepada yang haram adalah haram. 2.
Dalil kaidah ini adalah dilalah iltizâm atas seruan Allah yang secara manthuq menunjukkan makna wajib. Artinya, jika terdapat seruan Allah yang menunjukkan atas wajibnya suatu perkara, maka seruan itu dengan dilalah iltizâm menunjukkan bahwa perkara yang menjadi
61
Page | 61
penyempurna yang wajib, adalah wajib pula (hukumnya). Contohnya adalah membasuh kedua tangan sampai siku adalah wajib. Khithab (seruan) Syâri‟ yang menunjukkan kewajiban tersebut adalah firman Allah Swt: 6 6 Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (TQS. al-Maidah [5]: 6) Yang menyempurnakan kewajiban tersebut adalah membasuh bagian dari kedua siku, karena tidak mungkin pembasuhan kedua tangan itu terwujud sampai ke kedua siku kecuali dengan membasuh bagian dari kedua siku itu. Jadi, khithab Syâri‟ itu sendiri yang menunjukkan suatu kewajiban, dan dengan dilalah iltizâm menunjukkan bahwa sesuatu yang menjadi penyempurna yang wajib menjadi syarat bagi yang wajib. Saat itu tidak dicakup oleh dalil wajib, melainkan memerlukan dalil lain yang terpisah. Contoh lainnya, shalat adalah wajib. Khithab Syâri‟ yang menunjukkan kewajiban tersebut adalah firman Allah: Dan dirikanlah shalat. (TQS. an-Nuur [24]: 56) Diantara perkara yang menyempurnakan shalat adalah wudlu. Wudlu menjadi syarat bagi sahnya shalat, (yakni) bagi sesuatu yang wajib. Wudlu tidak dicakup oleh dalil tentang wajibnya shalat, melainkan memerlukan dalil lain yang terpisah dari dalil kewajiban shalat. Dalil tersebut adalah firman Allah Swt:
62
Page | 62
Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (TQS. al-Maidah [5]: 6) Namun, jika perkara tersebut menjadi penyempurna suatu kewajiban, bukan menjadi syarat baginya, maka dalil tentang kewajibannya tercakup dengan dilalah iltizâm. Dari sinilah asal muasal kaidah ini. 3. Istishhâb secara bahasa adalah tuntutan persahabatan (bersama-sama). Setiap perkara yang tidak bisa dipisahkan dari perkara yang lain berarti telah menyertainya. Jadi, yang dimaksud dengan istishhâb adalah menyertainya suatu keadaan. Para ahli ushul fiqih mendefinisikan istishhab sebagai hukum yang menetapkan (tetapnya) suatu perkara pada waktu kedua berdasarkan ketetapan pada waktu pertama. (Yaitu) tetapnya suatu perkara di masa kini berdasarkan ketetapannya di masa lalu. Setiap perkara yang sudah ditetapkan keberadaannya, kemudian datang keraguan tentang ketiadaannya, maka yang menjadi asal adalah tetapnya keberadaan perkara tadi. Istishhâb tidak termasuk dalil syara. Sebab, dalil syara ketetapannya memerlukan hujjah yang pasti (qath‟i). Sedangkan istishhâb tidak memiliki hujjah yang qath‟i. Istishhâb merupakan kaidah syara yang bersifat kulliyât, atau disebut juga dengan hukum syara kulliy. Yang dalam penggaliannya cukup dengan dalil yang zhanni. Kaidah ini digali dari dalil-dalil berikut ini: a. Rasulullah saw bersabda:
63
Page | 63
Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, dan kalian sering berselisih (dan menyerahkan keputusannya) kepadaku. Bisa saja sebagian dari kalian lebih lemah hujjahnya dari yang lain, maka aku menghukumi berdasarkan yang aku dengar. (HR. Bukhari melalui Ummu Salamah). Maksudnya, Rasulullah saw menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang tampak (zhahir), yakni (berdasarkan) istishhâb. b. Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya setan akan datang kepada salah seorang di antara kalian dan berkata: „Engkau telah berhadats, engkau telah berhadats‟. Maka janganlah dia berpaling dari shalatnya sehingga mendengar suara atau mencium bau.39 Hadits ini menunjukkan bahwa manusia apabila telah yakin berwudlu, lalu dia ragu tentang hadatsnya, maka dia boleh terus melaksanakan shalat, tanpa harus berwudlu lagi. Apabila dia yakin telah hadats, lalu dia ragu tentang wudlunya, maka dia harus berwudlu. Inilah yang disebut dengan istishhâbul ashli. c. Apabila ada atau tidaknya suatu perkara telah ditetapkan pada waktu yang pertama, kemudian tidak tampak hilangnya baik secara pasti ataupun dugaan (zhanni). Maka wajib secara pasti adanya dugaan atas tetapnya perkara tadi seperti sebelumnya. Beramal dengan zhan adalah wajib. Hal ini merupakan hujjah yang mengikat dan harus diikuti dalam berbagai hukum syara, karena berpijak kepada ghalabatu zhan (dugaan kuat). Itulah dalil-dalil kaidah istishhâb. Dari kaidah itu dapat dipahami bahwa:
64
Page | 64
Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan. Obyek pembahasan kaidah istishhâb adalah, apabila suatu hukum telah ditetapkan berdasarkan dalil, dalil ini tidak menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku terus-menerus, dan tidak ada dalil lain yang menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku secara langgeng; serta para mujtahid -setelah melakukan kajian tentang perkara ini sesuai dengan kadar kemampuannya- tidak menemukan satu dalilpun yang merubah atau menghilangkan hukum itu. Perkara-perkara yang keluar dari kaidah istishhab antara lain: a. Perkara yang keberadaannya dan kelanggengannya telah ditunjukkan melalui dalil aqli, seperti wajib tentang wujud Allah Swt. b. Perkara yang bersifat tetap dan berlaku terus menerus yang ditunjukkan melalui dalil naqli. Contohnya, tidak bolehnya menerima kesaksian orang yang telah menuduh zina (qadzaf). Allah Swt berfirman: Dan janganlah kamu terima kesaksian nereka buat selama-lamanya. (TQS. an-Nuur [24]: 4) Begitu juga kelanggengan jihad. Rasulullah saw bersabda: Jihad itu berlaku terus menerus (dan berlangsung) hingga hari kiamat.40 Nash ini menunjukan atas wajib dan terus menerusnya aktivitas jihad hingga hari kiamat.
Demikianlah perkara yang telah ditetapkan pada poin a dan b di atas dan yang sejenisnya,
65
Page | 65
(yaitu) dipastikan keberadaannya dan berlaku secara terus menerus, telah ditetapkan dengan dalil khusus, bukan dengan dalil istishhâb. Contoh-contoh kaidah istishhâb: a. Orang yang menikahi seorang wanita yang telah ditetapkan bahwa dia adalah gadis. Kemudian setelah menyetubuhinya dia mendakwa bahwa wanita itu tidak perawan lagi, maka dakwaan tersebut tidak bisa dipercaya kecuali dengan bukti yang nyata. Sebab, yang menjadi asal pada wanita itu adalah (adanya) kegadisan. Dan hal ini bersifat fixed sejak pertumbuhannya. Keberadaannya sebagai perawan diberlakukan kembali hingga kini. Dia ditetapkan sebagai perawan sebagaimana masa lalunya. b. Apabila seseorang mendakwa bahwa dia mempunyai piutang terhadap orang lain. Maka dakwaan tersebut tidak bisa diterima kecuali dengan bukti. Perkataan yang diterima adalah perkataan terdakwa dengan memberlakukan keadaan sebelumnya. Sebab, yang menjadi asal adalah bebasnya seseorang dari tanggungan apapun dan dari hak-hak yang berkaitan dengan harta hingga terdapat bukti yang menunjukkan sesuatu yang bertentangan. c. Apabila seorang laki-laki membeli anjing dengan asumsi bahwa anjing tersebut adalah anjing yang terdidik. Kemudian dia mendakwa bahwa anjing tersebut tidak terdidik. Maka dakwaannya bisa diterima dengan memberlakukan keadaan sebelumnya. Sebab, yang menjadi asal pada binatang adalah tidak terdidik. Anjing itu tetap dinyatakan tidak terdidik hingga ditetapkan sesuatu yang bertentangan dengannya.
d. Hukum terhadap kepastian dan kelanggengan ikatan pernikahan didasarkan pada akad
66
Page | 66
pernikahan yang shahih dan syar‟i. Begitu juga langgengnya kepemilikan dihukumi berdasarkan akad jual beli yang shahih secara syar‟i. Sebab, dalil-dalil ketetapan adanya pernikahan dan kepemilikan berimplikasi terhadap kelanggengannya sampai ada perkara yang menghilangkan keduanya, karena keduanya merupakan akad yang tidak menerima pembatasan waktu. e. Apabila orang bertayamum, kemudian di tengah shalatnya ia melihat air, maka shalatnya tidak batal dengan memberlakukan keadaan sebelumnya (istishhâban lil hâl). Sebab, sebelumnya telah diputuskan keshahihannya. Maka diberlakukanlah perkara yang telah ada sebelumnya hingga terdapat dalil bahwa dalil tersebut membatalkan shalat. 4. Kaidah Dlarar. Kaidah ini mencakup dua perkara: a. Suatu perkara dinyatakan dlarar dan tidak terdapat khithab Syâri‟ yang menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau pilihan antara meninggalkan atau mengerjakannya. Maka keberadaan perkara dlarar tersebut merupakan dalil atas keharamannya, karena Allah telah mengharamkan sesuatu yang membahayakan. Kaidahnya adalah: Asal sesuatu yang berbahaya adalah haram. b. Syâri‟ telah membolehkan suatu perkara yang (berbentuk) umum, akan tetapi dalam salah satu bagian dari perkara yang mubah itu terdapat bahaya (dlarar), maka bagian yang berbahaya atau yang akan mengakibatkan bahaya itu menjadi dalil atas keharamannya. Kaidahnya adalah:
67
Page | 67
Setiap bagian dari perkara-perkara yang mubah apabila berbahaya atau akan mengakibatkan bahaya, maka bagian tersebut diharamkan, sementara perkara yang mubah (lainnya) itu tetap statusnya mubah. Dalil kaidah yang pertama adalah sabda Rasulullah saw: Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) atau membahayakan orang lain dalam Islam.41 Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang membahayakan (orang lain) maka Allah akan memberikannya bahaya, dan barangsiapa yang mempersulit orang lain maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.42 Kedua hadits ini menjadi dalil bahwa kaidah: (Hukum) asal pada yang memudharatkan adalah haram. Adalah kaidah syar‟i. Dalil bagian pertama dari kaidah kedua adalah sabda Rasulullah saw: Janganlah kalian meminum dari air (sumur bangsa Tsamud) sedikitpun, dan janganlah kalian (mengambil airnya untuk) wudlu dan shalat, dan adonan yang telah kalian aduk berikanlah kepada unta. Janganlah kalian makan sedikitpun darinya. Dan pada malam ini janganlah seseorang keluar kecuali (berdua) bersama temannya.43 Adanya bahaya pada sumur kaum Tsamud menyebabkan airnya diharamkan. Sedangkan air (sumur lainnya) secara umum tetap dibolehkan.
68
Page | 68
Adanya bahaya pada saat keluar sendirian di malam hari di tempat tersebut, berakibat bahwa keluar sendirian pada malam itu dan di tempat itu diharamkan. Tetapi di tempat lainnya tetap mubah. Inilah dalil bagian pertama, yaitu bagian dari sesuatu yang mubah (tetapi) berbahaya. Adapun dalil bagian kedua, yaitu jika bagian dari sesuatu yang mubah itu akan menimbulkan bahaya, adalah hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah saw tinggal di daerah Tabuk kurang dari sepuluh hari dan tidak melampauinya. Lalu Rasulullah kembali menuju Madinah. Dalam perjalanan melalui lembah Musyaqaq terdapat air yang keluar dari sebuah pohon yang bisa menyegarkan satu, dua, atau tiga penunggang unta. Kemudian Rasul bersabda: Barangsiapa yang mendahuluiku sampai ke lembah itu maka dia tidak boleh mengambil airnya sedikitpun hingga aku sampai ke tempat itu. Ketika Rasulullah saw sampai, beliau tidak menemukan air sedikitpun. Rasul bersabda: „Siapa yang mendahuluiku ke tempat air ini‟? Dikatakan kepada Rasul: „Ya Rasulullah, si fulan dan si fulan‟. Rasul bersabda: „Bukankah aku telah melarang mereka untuk mengambil air sedikitpun sebelum aku tiba‟? Kemudian Rasulullah saw melaknat mereka dan berdoa untuk (kecelakaan) mereka. 44 Dalam hadits ini Rasul saw melarang minum air yang sedikit karena akan mengakibatkan bahaya bagi pasukan, yaitu kehausan.
Air dari lembah tersebut sebenarnya tidak berbahaya. Tetapi mengambilnya sebelum Rasulullah hadir (datang) dan membagi-bagikannya kepada anggota pasukan perang akan menimbulkan bahaya, yaitu terhalangnya
69
Page | 69
anggota pasukan perang dari air. Inilah dalil-dalil tentang kaidah dlarar. Beberapa contoh: a. Apabila seseorang mempunyai pohon, dahannya memanjang sampai ke rumah tetangga, sehingga menyebabkan tetangganya terganggu (ada bahaya terhadap tetangga). Maka dia dituntut untuk meninggikan dahan tersebut atau memotongnya. b. Apabila beranda rumah seseorang mengakibatkan sempitnya jalan umum sehingga mengganggu atau membahayakan orang-orang yang lewat, maka dia wajib menghilangkannya. Begitu juga jika bangunan atau yang sejenisnya melampaui batas sampai ke jalan umum yang mengganggu orang lain. c. Apabila terdapat harta perserikatan yang bisa dibagi-bagi, kemudian salah seorang yang berserikat menuntut agar harta tersebut segera dibagi-bagi, maka tuntutan itu harus dipenuhi meskipun yang lain menolaknya. Hal ini dilakukan untuk menolak bahaya dari perserikatan jika ada tuntutan. d. Apabila ada seekor ayam jantan milik seseorang menelan mutiara berharga milik orang lain, maka si pemilik mutiara bisa memiliki ayam jantan tersebut sesuai dengan harganya untuk disembelih dan mengambil mutiara miliknya. e. Setiap orang dilarang mengelola sesuatu yang dimilikinya dengan bentuk pengelolaan yang dapat membahayakan tetangganya, dengan bau ataupun asapnya. f. Dilarang mendirikan pabrik kimia di daerah yang padat penduduknya supaya penduduk tidak terganggu dengan asap atau gas dari pabrik tersebut.
70
Page | 70
g. Dilarang memiliki pabrik senjata berat, begitu pula pabrik senjata kimia dan nuklir sebagaimana kepemilikan khusus. Karena dengan kepemilikan itu akan menimbulkan bahaya. h. Hakim berhak melarang orang yang berhutang untuk melakukan perjalanan berdasarkan tuntutan orang yang memiliki piutang sampai dia mengangkat wakil untuk menyelesaikan tuntutan. Orang yang berhutang tidak boleh memberhentikan wakil selama ada dalam perjalanan untuk menolak bahaya orang yang memiliki piutang. i. Orang yang bodoh dilarang melakukan transaksi agar bisa menghindari bahaya bagi dirinya atau keluarganya karena ketidak mampuannya bertransaksi. j. Apabila terdapat satu saluran air yang bisa mengaliri dua bagian lahan atau kebun yang bertetangga, dan saluran itu mengalir dari satu kebun ke kebun yang lain, maka bagi pemilik kebun yang pertama tidak boleh mengambil kebutuhannya melalui saluran air tersebut seraya menghalangi tetangganya. k. Jika seseorang memiliki pohon di kebun orang lain yang di tinggalinya beserta keluarganya. Apabila pemilik pohon masuk ke kebun tersebut untuk memelihara pohonnya, dan bisa mengganggu orang yang memiliki kebun dan keluarganya, maka dia harus menjual pohon tersebut kepada pemilik kebun atau mencabutnya untuk menghilangkan bahaya. AL-MAHKUM FIIH
Mahkum fîh diartikan sebagai perbuatan hamba yang menjadi obyek khithab Syâri‟. Dengan meneliti dalil-dalil syara yang berkaitan dengan
71
Page | 71
perbuatan manusia maka tampak jelas beberapa keadaan berikut ini. 1. Allah Swt tidak menuntut kita dan menghisab perbuatan kita sebelum adanya penjelasan terhadap kita. Allah berfirman: Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. (TQS. al-Isra [17]: 15) Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (TQS. an-Nahl [16]: 44) 43 43 Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (TQS. an-Nahl [16]: 7) Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (QS. Al-anbiya [21]:7) 2. Allah Swt tidak memberikan beban kepada kita kecuali sesuai dengan kemampuan kita. Allah tidak akan menuntut suatu perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh kita. Allah berfirman: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 286) Rasulullah saw bersabda:
72
Page | 72
Apabila aku memerintahkan suatu perkara kepada kalian maka kerjakanlah apa yang kalian mampu.45 3. Allah tidak akan menerima amal perbuatan kita kecuali dengan dasar mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Allah Swt berfirman: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perseliskan. (TQS. an-Nisa [4]: 65) Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59) Rasulullah saw bersabda: Setiap perkara yang tidak aku perintahkan maka tertolak.46 4. Di antara perbuatan manusia ada yang termasuk hak Allah Swt. Bagi yang melanggarnya dikenakan sanksi hukum hudud. Dalam hal ini tidak ada pengampunan dan manusia tidak mempunyai otoritas untuk menggugurkannya. Rasulullah saw bersabda: Apakah engkau akan menggugurkan (memaafkan) satu had dari hudud Allah? Demi Allah, apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka sungguh aku (sendiri yang) akan memotong tangannya.47
Diantara perbuatan (manusia) ada pula yang menjadi hak hamba. Bagi yang melanggarnya
73
Page | 73
dikenakan sanksi seperti qishas atau diyat. Dalam hal ini seorang hamba (manusia) memiliki wewenang untuk mengampuninya sesuai dengan hukum-hukum syara. Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (TQS. al-Baqarah [2]: 178) Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang ditumpahkan darahnya atau dilukai maka dia boleh memilih diantara tiga perkara, yaitu menuntut qishah, mengambil diyat, atau mengampuninya. Apabila dia menghendaki yang keempatnya maka halangilah (cegahlah) dia.48 5. Apabila seruan Allah berkaitan dengan perbuatan manusia secara langsung, maka disebut dengan khithab taklifi. Dan jika tidak secara langsung, (yaitu) tidak terkait dengan perbuatan itu sendiri melainkan terkait dengan keadaan-keadaan tertentu atas suatu perbuatan, maka disebut dengan khithab wadl‟i. Kami telah menjelaskan perkara-perkara tersebut sebelumnya tatkala membahas hukum syara.
74
Page | 74
AL-MAHKUM ALAIH Mahkum „alaih ditujukan pada manusia (sebagai subyek hukum) yang perbuatannya terkait dengan khithab Syâri‟. Dengan mendalami dalil-dalil syara yang terkait dengan topik ini tampak jelas bahwa keadaan yang paling menonjol yang berkaitan dengan hal itu adalah sebagai berikut: 1. Khithab Syâri‟ untuk memeluk Islam, baik akidah maupun syariatnya, yang ditujukan kepada seluruh manusia, baik muslim maupun kafir. Mereka akan dihisab. Allah Swt berfirman: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya. (TQS. Saba [34]: 28) Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. (TQS. al-A‟raaf [7]: 158) Hai manusia, sembahlah Tuhanmu. (TQS. al-Baqarah [2]: 21) Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 97) Hal ini dilihat dari aspek khithab. Adapun dilihat dari aspek hisab (Allah), maka bagi muslim sudah jelas. Sedangkan bagi orang kafir dijelaskan:  Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (TQS. Fushshilat [41]: 7)

75
Page | 75
Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (TQS. Ibrahim [14]: 2) Dan masih banyak lagi ayat yang lainnya. 2. Dari non muslim, tidak akan diterima amal perbuatan apapun, karena Islam menjadi syarat sahnya (perbuatan tersebut), seperti shalat, zakat, shaum dan haji. Namun, akan diterima jika Islam tidak menjadi syarat sahnya (suatu perbuatan), seperti kesaksian terhadap wasiat dalam perjalanan. Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. (TQS. al-Maidah [5]: 106) 3. Seorang muslim menerapkan hukum syara hanya karena mengikuti perintah Allah Swt dan Rasulullah saw. Firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59) 
76
Page | 76
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allahsebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (TQS. Ali Imran [3]: 102) Sementara itu, hukum syara diterapkan kepada non muslim didalam Daulah Islamiyyah sebagai konsekwensi akad dzimmah. Allah Swt berfirman: Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29) Yaitu tunduk terhadap hukum-hukum Islam. Mereka dipaksa untuk tunduk terhadap hukum Islam, meskipun tetap tidak akan dipaksa untuk memeluk akidah Islam. Allah Swt berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256) 4. Taklif akan gugur dari mahkum alaih dari sisi pelaksanaannya secara langsung pada kondisi-kondisi berikut: a. Jika mahkum alaih belum baligh. b. Jika gila total sehingga seluruh akalnya hilang. c. Apabila terlelap tidur sehingga tidak menyadari apa yang ada di sekitarnya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: Tidak dicatat dari tiga golongan manusia, yaitu anak kecil hingga baligh, orang yang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh.49
77
Page | 77
Yang dimaksud dengan ungkapan „tidak dicatat‟ adalah diangkatnya taklif (digugurkan). 5. Sanksi akan digugurkan dari mukallaf karena alasan-alasan berikut: a. Jika dihilangkan/dirampas kehendaknya secara paksa dengan bentuk yang mematikan (ikrah al-mulji) atau yang setara dengannya. b. Apabila lupa (tidak ingat) akan kewajibannya sama sekali c. Apabila suatu perbuatan dilakukan karena kesalahan –tidak disengaja- bukan atas kehendaknya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: Diangkat (sanksi) dari umatku karena (akibat) kesalahan, karena lupa, dan karena dipaksa. 50 Selain perkara di atas, manusia dibebankan untuk menerapkan hukum syara yang berkaitan dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar