Jumat, 31 Mei 2013

** DEMOKRASI : SISTEM JAHILIYYAH **

Demokrasi: Sistem Jahiliyyah

 

Bedah Kitab : Ru’yatun Islâmiyyatun Li Ahwâl Al-‘Aalam Al-Mu’âshir, Syaikh Muhammad Quthb – Dar al-Wathan: Riyadh – Cet. I: 1411 H/ 1991.
Terjemah & Ta’liiq: Irfan Abu Naveed
Apa makna jahiliyyah? Syaikh Muhammad Quthb memaparkan penjelasan yang cukup mapan. Ia menjelaskan:

أن لفظ ((الجاهلية)) مصطلح قرآني. وهذه الصيغة بالذات -صيغة ((الفاعلية))- لم ترد في استعمال العرب قبل نزول القرآن الكريم. فقد استخدموا الفعل ((جَهِلَ)) وتصريفاته المختلفة، واستخدموا المصدر ((الجهل)) و((الجهالة)) ولكنهم لم يستخدموا صيغة ((الفاعلية)) الجاهلية، ولا هم وصفوا أنفسهم ولا غيرهم بأنهم ((جاهليون)). إنما جاء وصفهم بهذه الصفة في القرآن الكريم وفي سنة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-.

“Bahwa lafazh al-Jahiliyyah merupakan istilah qur’ani. Shighat lafazh ini pada asalnya -shighat al-faa’iliyyah- tidak pernah digunakan orang-orang arab sebelum turunnya Al-Qur’an Al-Karim. Orang-orang arab hanya menggunakan kata kerja jahila berikut perubahan-perubahan bentuk kata kerjanya yang beragam, dan mereka menggunakan mashdar al-jahl dan al-jahaalah, namun orang-orang arab tidak menggunakan shighat al-faa’iliyyah yakni al-jaahiliyyah, dan mereka pun tidak pernah menyifati diri mereka sendiri dan selainnya bahwa mereka kaum jahiliyyah. Sesungguhnya penyifatan bagi mereka dengan sifat ini berdasarkan al-Qur’an al-Karim dan Sunnah Rasulullah SAW.”[1]
Makna al-jahl secara bahasa didefinisikan Syaikhul Islam:

هو عدم العلم، أو عدم إتباع العلم. فإن من لم يعلم الحق فهو جاهل جهلاً بسيطًا، فإن اعتقد خلافه فهو جاهل جهلاً مركبًا.. وكذلك من عمل بخلاف الحقّ فهو جاهل، وإن علم أنه مخالف للحقّ.

“Yakni ketiadaan ilmu, atau tidak adanya upaya mengikuti ilmu. Maka jika seseorang tidak mengetahui kebenaran maka ia adalah orang yang jahil dengan kejahilan yang lebih sederhana, dan jika ia mengi’tikadkan untuk mengingkari kebenaran maka ia adalah orang yang jahil dengan kejahilan yang kompleks.. Dan begitu pula barangsiapa yang melakukan sesuatu menyelisihi kebenaran maka ia adalah orang yang jahil, meskipun ia tahu bahwa dirinya menyelisihi kebenaran.”[2]
Namun, sebagaimana ditegaskan Syaikh Muhammad Quthb, karena istilah jahiliyyahmerupakan istilah qur’ani maka memahami istilah ini dikembalikan pada petunjuk al-Qur’an.
يتّخذ دلالته المحدّدة من استخدام القرآن له، وتحديده لمعناه

“Makna al-jaahiliyyah diambil dari petunjuk penggunaan al-Qur’an terhadapnya, dan pembatasan al-Qur’an terhadap maknanya.”
Syaikh Muhammad Quthb menegaskan:

أما في القرآن الكريم فاللفظ يرد في معنى خاص، أو في الحقيقة في معنيين محددين: إما الجهل بحقيقة الألوهية وخصائصها، وإما السلوك غير المنضبط بالضوابط الربانية، أي بعبارة أخرى: عدم إتباع ما أنزل الله.

“Adapun dalam pandangan Al-Qur’an Al-Karim, maka lafazh ini disebutkan dengan makna khusus, atau hakikatnya mencakup dua makna terbatas: yakni kejahilan terhadap hakikat uluhiyyah dan kekhususan-kekhususannya, atau perbuatan yang tidak ta’at pada ketentuan-ketentuan Rabbaniyyah atau dengan kata lain tidak menta’ati apa yang diturunkan Allah.”
Allah SWT berfirman:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu[3], Maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk Kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (QS. Al-A’raaf [7]: 138
Maka kejahilan dalam ayat ini maksudnya adalah kejahilan terhadap hakikat uluhiyyah.[4]
Dan ketika Allah SWT berfirman:
 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? “ (QS. Al-Maa’idah [5]: 50)
Maka jahiliyyah dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan berhukum dengan selain hukum yang Allah  turunkan, sebagaimana dinyatakan Syaikh Muhammad Quthb:

فالأمر متعلق مباشرة بإتباع غير ما أنزل الله من التشريع

“Maka dalam hal ini berkaitan secara langsung dengan perbuatan mengikuti selain hukum Allah dalam berhukum.”
Syaikh Muhammad Quthb pun menyebutkan kriteria-kriteria sebuah masyarakat jahiliyyah. Ia membantah pendapat yang membatasi jahiliyyah hanya pada masyarakat Arab di masa awal dakwah Nabi saw. Menurutnya di zaman kapan pun dan di negeri manapun suatu masyarakat pantas disebut masyarakat jahiliyyah bila memenuhi empat kriteria:
Pertama, tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Yaitu, sikap yang membuktikan kesatuan antara akidah dan syariat tanpa pemisahan.
Kedua, tidak adanya pelaksanaan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah Swt, yang berarti menuruti “hawa nafsu” manusia (QS. Al-Maa’idah: 49-50).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maa’idah [5]: 49-50)
Ketiga, hadirnya berbagai thaghut di muka bumi yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada Allah Swt serta menolak syariat-Nya. Lalu, mengalihkan peribadatannya kepada thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut nafsunya. (QS. Al-Baqarah: 257).
Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 257)
Keempat, hadirnya sikap menjauh dari agama Allah SWT,sehingga penyelewengan menjurus kepada nafsu syahwat. Masyarakat itu tidak melarang dan tidak merasa berkepentingan untuk melawan perbuatan asusila.
Maka, tak samar bahwa sistem Demokrasi yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum, pemilik kedaulatan, merupakan sistem Jahiliyyah. Dan produk hukum akal manusia dalam sistem Demokrasi merupakan hukum jahiliyyah. Allah SWT berfirman:
 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? “ (QS. Al-Maa’idah [5]: 50)
Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern (al-hadhaarah al-gharbiyyah al-mu’aashirah). Sedangkan peradaban barat modern itu sendiri merupakan peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi, sebagaimana dituturkan Arnold Toynbee dalam bukunya -Civilization on Trial-. Menurut Toynbee, apa yang disebut ‘Dunia Barat’ dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya ‘Politics’ merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan ‘Polis’ atau ‘City States’. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Dilain pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang hukum pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda. Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi.
Penilaian di atas, sesuai dengan apa yang dinyatakan Syaikh Muhammad Quthb ketika ia menjelaskan tentang jahiliyyah modern (al-jaahiliyyah al-mu’aashirah):

فالقوم قد ورثوا من كلتا الجاهليتين الإغريقية والرومانية إرادة الحياة الدنيا وزينتها، كما أشرنا من قبل، فقد قلنا إنهم ورثوا عن الجاهلية الإغريقية عبادة الجسد في صورة جمال حسيّ، ومن الجاهلية الرومانية عبادة الجساد في صورة شهوات حسية، وتزيين الحياة الدنيا لزيادة الاستمتاع الحسيّ بها إلى أقصى الغاية، ومن ثم الاهتمام البالغ بالعمارة المادية للأرض.

“Maka sesungguhnya kaum ini (jahiliyyah modern-pen.) telah mewarisi dua peradaban jahiliyyah; Yunani dan Romawi dalam mengejar kehidupan dunia dan perhiasannya, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, dan telah kami sampaikan bahwa mereka mewarisi peradaban jahiliyyah Yunani dengan mengagungkan jasad dalam bentuk keindahan pancaindera, dan peradaban jahiliyyah Romawi dengan mengagungkan jasad dalam bentuk syahwat jiwa, serta penghambaan terhadap perhiasan duniawi yang kian menambah kenikmatan pancaindera sebagai tujuan paling tinggi, dan perhatian yang sangat besar terhadap kekuasaan materi di Bumi ini.”

[1] Lihat: Ru’yatun Islaamiyyatun Li Ahwaal Al-‘Aalam Al-Mu’aashir, Syaikh Muhammad Quthb, Hlm. 13.
[2] Lihat: Iqtidhaa’ Al-Siraath Al-Mustaqiim Mukhaalafatu Ashhaab Al-Jahiimm (hlm. 77-78) karya Syaikhul Islam, Tahqiq: Syaikh Muhammad Hamid – al-Sunnah al-Muhammadiyyah – Cet. II.
[3] Maksudnya bagian Utara dari Laut Merah.
[4] Lihat: Ru’yatun Islaamiyyatun Li Ahwaal Al-‘Aalam Al-Mu’aashir, Syaikh Muhammad Quthb – Dar al-Wathan: Riyadh – Cet. I: 1411 H/ 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar