Petunjuk al-Qur’an tentang Waktu
"Waktu adalah
simbol keberadaan dan ruang bagi manusia untuk memperoleh derajat yang akan
membuatnya layak masuk surga. Waktu merupakan wadah yang harus dipenuhi dengan kebaikan."
-
Pertama, Nilai Waktu
Allah Subhaanahu Wata’ala
berfirman, “Demi waktu. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman ....” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).
Penerapan Sehari-hari
Waktu adalah simbol keberadaan
dan ruang bagi manusia untuk memperoleh derajat yang akan membuatnya layak
masuk surga. Waktu merupakan wadah yang harus dipenuhi dengan kebaikan. Tidak
boleh ada yang kosong, bahkan saat waktu luang itu sendiri, yaitu ketika
rekreasi, istirahat dan mempersiapkan diri untuk babak berikutnya.
Menyia-nyiakan waktu berarti
menyia-nyiakan kesempatan berharga yang akan menyelamatkan seseorang dari
azab dan mendekatkannya ke surga. “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan
seberat dzarrah,niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa
mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.” (QS al-Zalzalah [99]: 7-8).
Waktu yang diberikan kepadaku
adalah pengintai umurku agar aku memperhatikan bagaimana umurku dihabiskan dan
diinvestasikan. Itu merupakan tanggung jawabku untuk mengetahui seberapa banyak
aktivitasnya hingga benar-benar produktif. Waktu adalah kehidupanku yang memacu
pergerakan aktivitas, intelektual, dan spiritual. Ia merupakan periode terbatas
yang memungkinkanku mendapatkan keabadian. Ia adalah modal terbesar di dunia.
Sekarang, apakah Anda tahu
mengapa bagian terbesar dalam al-Qur’an adalah waktu dengan berbagai
kosakatanya, yaitu fajar, shubuh, duha, siang, malam, asar, tahun, dan lain
sebagainya?
Imam Ali k.w mengatakan,
“Barang siapa melalaikan waktu, niscaya dia dilalaikan olehnya.” Artinya, siapa
yang menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak penting, niscaya waktu akan
memalingkannya dari hal-hal yang penting. Alangkah merugi perniagaannya dan
betapa tidak tahunya dia akan miliknya yang bernilai.
-
Semua orang mencela
waktu
-
padahal yang seharusnya
dicela hanyalah diri kita
-
Kita mencela waktu
padahal aibnya ada pada diri kita
-
Seandainya waktu bisa
berbicara, niscaya kita dikecamnya
-
-
Kedua, Mengamati Waktu
Allah Swt berfirman kepada
Uzair yang sudah dimatikan selama seratus tahun kemudian dihidupkan kembali,
“‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ Dia menjawab, ‘Aku tinggal (di
sini) sehari atau setengah hari.’” (QS. al-Baqarah [2]: 259).
Penerapan Sehari-hari
Ketika malaikat maut, Izrail,
menemui Nabi Allah Nuh a.s, untuk mencabut nyawanya, dia berkata kepadanya,
“Wahai Nabi yang paling panjang umurnya! Menurutmu kehidupan itu apa?” Nuh a.s
menjawab, “Hidup itu bagaikan orang yang memasuki satu pintu kemudian keluar
lagi dari sana.”
Jika kehidupan—dengan segala
kesenangannya—dinilai sangat singkat seperti itu, kok bisa-bisanya ia
tidak diperhatikan secara ekstra dan diamati secara mendalam? Hadits
mengatakan, “Setiap kali hari berganti, ia datang kepada manusia seraya berkata,
‘Wahai manusia! Aku adalah hari baru dan akan menjadi saksi untukmu. Karena
itu, perlakukanlah aku dengan baik. Isilah aku dengan amal baik. Dengan begitu
aku akan menjadi saksi yang meringankanmu di hari kiamat. Setelah ini kamu
tidak akan pernah lagi berjumpa denganku. Hariku, harimu, dan hari orang-orang
hanya tiga: pertama, hari kemarin yang sudah berlalu dan tinggal
kenangan; kedua, hari sekarang yang sedang dijalani yang merupakan
keberuntungan; dan ketiga, hari esok. Kita tidak tahu siapa bisa sampai ke
sana.’”
Mengamati waktu bukan berarti
memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya saja, tapi juga keluar dari rutinitasnya.
Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, tidak mengalami perkembangan,
kemajuan, atau peningkatan kebaikan adalah orang yang merugi. Orang yang tidak
mengetahui peningkatan dalam dirinya pasti berada dalam kemunduran.
Mengamati waktu juga bisa
diartikan membaginya dengan sesuatu yang bisa menjamin semua kebutuhan. Pepatah
mengatakan: malam dan siang tidak akan bisa menampung semua keperluanmu. Karena
itu, bagilah ia antara pekerjaan dan istirahat.
Rasulullah Saw pernah ditanya
tentang sebuah keterangan dalam Suhuf Ibrahim a.s. Beliau menjawab,
“Dalam suhuf Ibrahim disebutkan bahwa orang yang berakal—selama
akalnya masih sehat—seharusnya membagi waktu menjadi empat
bagian: pertama, waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya; kedua, waktu
untuk introspeksi diri; ketiga, waktu untuk merenungkan ciptaan Allah
Swt; keempat, waktu untuk menikmati kelezatan-kelezatan hidup yang
diperkenankan oleh agama. Waktu yang keempat dapat membantu waktu-waktu
sebelumnya dan merelaksasikan hati.” Maksudnya, waktu dibagi menjadi waktu
untuk bekerja, waktu untuk beribadah, waktu untuk belajar, dan waktu untuk
beristirahat dan memperbarui semangat.
-
Ketiga, Pergantian Siang
dan Malam
Allah Swt berfirman, “Dan Kami
menjadikan malam sebagai pakaian, dan Kami menjadikan siang untuk mencari
penghidupan.” (QS. al-Naba [78]: 10-11).
Penerapan Sehari-hari
Allah telah membagi waktu
dengan kelembutan dan kebijaksanaan-Nya. Pertama, waktu untuk beramal,
beraktivitas, berjuang, dan berusaha. Kedua, waktu untuk istirahat,
rekreasi, dan berlibur. Malam dijadikan untuk menenangkan diri, sedangkan siang
dikhususkan untuk mencari karunia-Nya. Siang identik dengan kebangkitan, karena
saat itu manusia bertebaran untuk mencari rezeki. Sementara itu, malam identik
dengan ketenangan, karena aktivitas telah berhenti, orang-orang cenderung untuk
beristirahat dan tidur.
Inilah pembagian yang arif dan
bijaksana. Ada pergantian siang dan malam. Namun sayangnya, banyak orang yang
mengubah firman Allah. Malam dijadikan siang, siang dijadikan malam. Orang yang
bekerja di malam hari mungkin bisa ditolerir kalau dia tidak punya kesempatan
bekerja di siang hari. Tapi, apa alasannya menolerir orang yang menghabiskan
malam dengan bergadang, bergosip, bermain, berpesta, dan bergumul dalam
kesenangan yang diharamkan?
Bergadang seharusnya dilakukan
untuk amal-amal yang penting dan bermanfaat, semisal menjaga keamanan, ibadah,
mencari ilmu, atau merayakan pernikahan yang bahagia. Adapun bergadang sambil
merokok dan membincangkan sesuatu yang batil bersama orang-orang, itu jelas
akan merugikan, bukan menguntungkan. Karena itu pepatah mengatakan: malam dan
siang akan mengerjaimu (yakni menghancurkanmu), karena itu kerjailah keduanya
(yakni dengan membangun).
-
Keempat, Memanfaatkan
Waktu yang Berharga
Allah Swt berfirman, “Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr [97]: 3).
Penerapan Sehari-hari
Dari sekian nikmat yang diberikan
oleh Allah Swt kepada kita adalah ada waktu-waktu selama hidup kita atau selama
setahun sekali di mana saat itu kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya,
keburukan dihapuskan, dan anugerah dilimpahkan. Di antaranya adalah bulan
Ramadhan yang penuh berkah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw,
“Ramadhan adalah bulan paling mulia di mata Allah. Siangnya adalah siang yang
paling utama. Malamnya adalah malam yang paling utama. Dan jamnya adalah jam
yang paling utama.” Bahkan beliau bersabda, “Ramadhan adalah bulan di mana pada
bulan itu terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.”
Waktu-waktu itu merupakan
pengecualian atau waktu kompensasi. Seolah-olah waktu shalat adalah kesempatan
untuk memperbaiki kekurangan pada waktu sebelumnya. Waktu Jum‘at adalah
kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dalam seminggu. Bulan Ramadhan adalah
kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dalam setahun. Dan haji adalah
kesempatan untuk memperbaiki kekurangan selama hidup. Dalam sebuah hadits
dinyatakan, “Dalam hari-hari kalian terdapat banyak karunia Tuhanmu.
Songsonglah karunia itu, besar harapan kalian mendapat salah satu di antaranya.
Kalian tidak akan celaka sampai kapan pun bila mendapatnya.”
-
Kelima: Hari Raya
Allah Swt berfirman, “Dia
(Musa) berkata, “(Perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu)
ialah pada hari raya.” (QS. Thaha [20]: 59).
Penerapan sehari-hari
Al-‘Îd (hari raya)
terambil dari kata al-‘audah (kembali). Artinya adalah kesempatan
untuk kembali kepada Allah. Hari Raya Idul Fithri adalah hari kembali kepada
Allah setelah melaksanakan perintah dan ketaatan pada bulan Ramadhan. Adapun
Hari Raya Idul Adha adalah hari kembali kepada Allah Swt setelah menyambut
seruan-Nya di bulan Haji. Yang dimaksud dengan hari kembali adalah kembali
kepada Allah dalam keadaan bersih karena dosa-dosa diampuni. Lalu, apakah hari
raya hanya sebatas itu? Tentu tidak. Sebab, setiap hari yang saat itu tidak
diisi dengan bermaksiat kepada Allah adalah hari raya. Artinya apa? Artinya
adalah Anda bisa menjadikan hari-hari Anda, bahkan hari sedih dan hari
berkabung sekalipun sebagai hari raya. KetikaAnda tertimpa musibah kemudian
mengatakan إنّا للهِ وإنّا إليه راجعون (Kami milik Allah dan akan kembali
kepada-Nya), maka dengan ucapan itu sejatinya Anda telah mengubah kesedihan
dengan kebahagiaan, karena Allah Swt bakal menggembirakan Anda dengan
rahmat-Nya jika Anda berbuat demikian.
Boleh jadi hari rayaku bukan
hari raya apabila aku merusaknya dengan permainan yang diharamkan, pesta pora,
berburu kenikmatan yang diharamkan, dan kemungkaran.
Hari rayaku adalah hari di mana
aku menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang hamba muslim yang di pundaknya
telah dibebankan sejumlah tanggung jawab terhadap diri dan masyarakat.
Hari rayaku adalah hari di mana
aku memperbaiki kehidupanku, kehidupan orang-orang di sekitarku, meski hanya
dengan kata-kata yang baik.
Hari rayaku adalah hari di mana
di penghujung hari aku pulang ke rumah dengan hati yang senang karena telah
sukses mengerjakan kewajiban, menepati perjanjian, menjalankan ibadah kepada
Allah dengan ikhlas, dan memberi manfaat kepada para hamba-Nya sebatas
kemampuan.
Hari rayaku ... juga aku
ciptakan sendiri!
-
Keenam: Hari Kiamat
Allah Swt berfirman, “Saat
(hari kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” (QS. al-Qamar [54]: 1).
Penerapan sehari-hari
Banyak orang mengatakan, apa
urusannya hari kiamat dengan kehidupan? Hari kiamat itu hanyalah akhir
kehidupan dan babak akhirnya.
Orang-orang yang berpandangan
seperti itu lupa bahwa ketika kiamat tiba, maka berakhirlah kehidupan yang fana
dan dimulailah kehidupan yang abadi. Mempersiapkan diri untuk kedatangannya
setiap saat berarti mengisi waktu dengan serius, mengisinya dengan kebaikan,
menjadikannya bermakna, bernilai, dan tercerahkan.
Rasulullah Saw bersabda,
“Ketika hari kiamat tiba, sementara salah seorang dari kalian memegang bibit
pohon kurma, maka hendaklah dia menanamnya!” Artinya, amal dan harapan
harus tetap ada dan seiring sejalan hingga di saat-saat terakhir yang sangat
sulit sekalipun.
Seorang Badui bertanya kepada
Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Kapan hari kiamat terjadi?” Rasulullah Saw
balik bertanya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?” Itulah
pertanyaan yang sesungguhnya harus dijawab.........
Wallahu A’lam Bisshawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar