Rabu, 29 Mei 2013

** PETUNJUK AL-QUR'AN TENTANG WAKTU **

                                        Petunjuk al-Qur’an tentang Waktu
    "Waktu adalah simbol keberadaan dan ruang bagi manusia untuk memperoleh derajat yang akan membuatnya layak masuk surga. Waktu merupakan wadah yang harus dipenuhi dengan kebaikan."
-         Pertama, Nilai Waktu
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, “Demi waktu. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman ....” (QS. al-‘Ashr [103]: 1-3).
Penerapan Sehari-hari
Waktu adalah simbol keberadaan dan ruang bagi manusia untuk memperoleh derajat yang akan membuatnya layak masuk surga. Waktu merupakan wadah yang harus dipenuhi dengan kebaikan. Tidak boleh ada yang kosong, bahkan saat waktu luang itu sendiri, yaitu ketika rekreasi, istirahat dan mempersiapkan diri untuk babak berikutnya.
Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kesempatan berharga yang akan menyelamatkan seseorang dari azab dan mendekatkannya ke surga. “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah,niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS al-Zalzalah [99]: 7-8).
Waktu yang diberikan kepadaku adalah pengintai umurku agar aku memperhatikan bagaimana umurku dihabiskan dan diinvestasikan. Itu merupakan tanggung jawabku untuk mengetahui seberapa banyak aktivitasnya hingga benar-benar produktif. Waktu adalah kehidupanku yang memacu pergerakan aktivitas, intelektual, dan spiritual. Ia merupakan periode terbatas yang memungkinkanku mendapatkan keabadian. Ia adalah modal terbesar di dunia.
Sekarang, apakah Anda tahu mengapa bagian terbesar dalam al-Qur’an adalah waktu dengan berbagai kosakatanya, yaitu fajar, shubuh, duha, siang, malam, asar, tahun, dan lain sebagainya?
Imam Ali k.w mengatakan, “Barang siapa melalaikan waktu, niscaya dia dilalaikan olehnya.” Artinya, siapa yang menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak penting, niscaya waktu akan memalingkannya dari hal-hal yang penting. Alangkah merugi perniagaannya dan betapa tidak tahunya dia akan miliknya yang bernilai.
-         Semua orang mencela waktu
-         padahal yang seharusnya dicela hanyalah diri kita
-         Kita mencela waktu padahal aibnya ada pada diri kita
-         Seandainya waktu bisa berbicara, niscaya kita dikecamnya
-          
-         Kedua, Mengamati Waktu
Allah Swt berfirman kepada Uzair yang sudah dimatikan selama seratus tahun kemudian dihidupkan kembali, “‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ Dia menjawab, ‘Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.’” (QS. al-Baqarah [2]: 259).
Penerapan Sehari-hari
Ketika malaikat maut, Izrail, menemui Nabi Allah Nuh a.s, untuk mencabut nyawanya, dia berkata kepadanya, “Wahai Nabi yang paling panjang umurnya! Menurutmu kehidupan itu apa?” Nuh a.s menjawab, “Hidup itu bagaikan orang yang memasuki satu pintu kemudian keluar lagi dari sana.”
Jika kehidupan—dengan segala kesenangannya—dinilai sangat singkat seperti itu, kok bisa-bisanya ia tidak diperhatikan secara ekstra dan diamati secara mendalam? Hadits mengatakan, “Setiap kali hari berganti, ia datang kepada manusia seraya berkata, ‘Wahai manusia! Aku adalah hari baru dan akan menjadi saksi untukmu. Karena itu, perlakukanlah aku dengan baik. Isilah aku dengan amal baik. Dengan begitu aku akan menjadi saksi yang meringankanmu di hari kiamat. Setelah ini kamu tidak akan pernah lagi berjumpa denganku. Hariku, harimu, dan hari orang-orang hanya tiga: pertama, hari kemarin yang sudah berlalu dan tinggal kenangan; kedua, hari sekarang yang sedang dijalani yang merupakan keberuntungan; dan ketiga, hari esok. Kita tidak tahu siapa bisa sampai ke sana.’”
Mengamati waktu bukan berarti memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya saja, tapi juga keluar dari rutinitasnya. Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, tidak mengalami perkembangan, kemajuan, atau peningkatan kebaikan adalah orang yang merugi. Orang yang tidak mengetahui peningkatan dalam dirinya pasti berada dalam kemunduran.
Mengamati waktu juga bisa diartikan membaginya dengan sesuatu yang bisa menjamin semua kebutuhan. Pepatah mengatakan: malam dan siang tidak akan bisa menampung semua keperluanmu. Karena itu, bagilah ia antara pekerjaan dan istirahat.
Rasulullah Saw pernah ditanya tentang sebuah keterangan dalam Suhuf Ibrahim a.s. Beliau menjawab, “Dalam suhuf Ibrahim disebutkan bahwa orang yang berakal—selama akalnya masih sehat—seharusnya membagi waktu menjadi empat bagian: pertama, waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya; kedua, waktu untuk introspeksi diri; ketiga, waktu untuk merenungkan ciptaan Allah Swt; keempat, waktu untuk menikmati kelezatan-kelezatan hidup yang diperkenankan oleh agama. Waktu yang keempat dapat membantu waktu-waktu sebelumnya dan merelaksasikan hati.” Maksudnya, waktu dibagi menjadi waktu untuk bekerja, waktu untuk beribadah, waktu untuk belajar, dan waktu untuk beristirahat dan memperbarui semangat.
-         Ketiga, Pergantian Siang dan Malam
Allah Swt berfirman, “Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian, dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. al-Naba [78]: 10-11).
Penerapan Sehari-hari
Allah telah membagi waktu dengan kelembutan dan kebijaksanaan-Nya. Pertama, waktu untuk beramal, beraktivitas, berjuang, dan berusaha. Kedua, waktu untuk istirahat, rekreasi, dan berlibur. Malam dijadikan untuk menenangkan diri, sedangkan siang dikhususkan untuk mencari karunia-Nya. Siang identik dengan kebangkitan, karena saat itu manusia bertebaran untuk mencari rezeki. Sementara itu, malam identik dengan ketenangan, karena aktivitas telah berhenti, orang-orang cenderung untuk beristirahat dan tidur.
Inilah pembagian yang arif dan bijaksana. Ada pergantian siang dan malam. Namun sayangnya, banyak orang yang mengubah firman Allah. Malam dijadikan siang, siang dijadikan malam. Orang yang bekerja di malam hari mungkin bisa ditolerir kalau dia tidak punya kesempatan bekerja di siang hari. Tapi, apa alasannya menolerir orang yang menghabiskan malam dengan bergadang, bergosip, bermain, berpesta, dan bergumul dalam kesenangan yang diharamkan?
Bergadang seharusnya dilakukan untuk amal-amal yang penting dan bermanfaat, semisal menjaga keamanan, ibadah, mencari ilmu, atau merayakan pernikahan yang bahagia. Adapun bergadang sambil merokok dan membincangkan sesuatu yang batil bersama orang-orang, itu jelas akan merugikan, bukan menguntungkan. Karena itu pepatah mengatakan: malam dan siang akan mengerjaimu (yakni menghancurkanmu), karena itu kerjailah keduanya (yakni dengan membangun).
-         Keempat, Memanfaatkan Waktu yang Berharga
Allah Swt berfirman, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr [97]: 3).
Penerapan Sehari-hari
Dari sekian nikmat yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita adalah ada waktu-waktu selama hidup kita atau selama setahun sekali di mana saat itu kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya, keburukan dihapuskan, dan anugerah dilimpahkan. Di antaranya adalah bulan Ramadhan yang penuh berkah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Ramadhan adalah bulan paling mulia di mata Allah. Siangnya adalah siang yang paling utama. Malamnya adalah malam yang paling utama. Dan jamnya adalah jam yang paling utama.” Bahkan beliau bersabda, “Ramadhan adalah bulan di mana pada bulan itu terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.”
Waktu-waktu itu merupakan pengecualian atau waktu kompensasi. Seolah-olah waktu shalat adalah kesempatan untuk memperbaiki kekurangan pada waktu sebelumnya. Waktu Jum‘at adalah kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dalam seminggu. Bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk memperbaiki kekurangan dalam setahun. Dan haji adalah kesempatan untuk memperbaiki kekurangan selama hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan, “Dalam hari-hari kalian terdapat banyak karunia Tuhanmu. Songsonglah karunia itu, besar harapan kalian mendapat salah satu di antaranya. Kalian tidak akan celaka sampai kapan pun bila mendapatnya.”
-         Kelima: Hari Raya
Allah Swt berfirman, “Dia (Musa) berkata, “(Perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu) ialah pada hari raya.” (QS. Thaha [20]: 59).
Penerapan sehari-hari
Al-‘Îd (hari raya) terambil dari kata al-‘audah (kembali). Artinya adalah kesempatan untuk kembali kepada Allah. Hari Raya Idul Fithri adalah hari kembali kepada Allah setelah melaksanakan perintah dan ketaatan pada bulan Ramadhan. Adapun Hari Raya Idul Adha adalah hari kembali kepada Allah Swt setelah menyambut seruan-Nya di bulan Haji. Yang dimaksud dengan hari kembali adalah kembali kepada Allah dalam keadaan bersih karena dosa-dosa diampuni. Lalu, apakah hari raya hanya sebatas itu? Tentu tidak. Sebab, setiap hari yang saat itu tidak diisi dengan bermaksiat kepada Allah adalah hari raya. Artinya apa? Artinya adalah Anda bisa menjadikan hari-hari Anda, bahkan hari sedih dan hari berkabung sekalipun sebagai hari raya. KetikaAnda tertimpa musibah kemudian mengatakan إنّا للهِ وإنّا إليه راجعون (Kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya), maka dengan ucapan itu sejatinya Anda telah mengubah kesedihan dengan kebahagiaan, karena Allah Swt bakal menggembirakan Anda dengan rahmat-Nya jika Anda berbuat demikian.
Boleh jadi hari rayaku bukan hari raya apabila aku merusaknya dengan permainan yang diharamkan, pesta pora, berburu kenikmatan yang diharamkan, dan kemungkaran.
Hari rayaku adalah hari di mana aku menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang hamba muslim yang di pundaknya telah dibebankan sejumlah tanggung jawab terhadap diri dan masyarakat.
Hari rayaku adalah hari di mana aku memperbaiki kehidupanku, kehidupan orang-orang di sekitarku, meski hanya dengan kata-kata yang baik.
Hari rayaku adalah hari di mana di penghujung hari aku pulang ke rumah dengan hati yang senang karena telah sukses mengerjakan kewajiban, menepati perjanjian, menjalankan ibadah kepada Allah dengan ikhlas, dan memberi manfaat kepada para hamba-Nya sebatas kemampuan.
Hari rayaku ... juga aku ciptakan sendiri!
-         Keenam: Hari Kiamat
Allah Swt berfirman, “Saat (hari kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” (QS. al-Qamar [54]: 1).
Penerapan sehari-hari
Banyak orang mengatakan, apa urusannya hari kiamat dengan kehidupan? Hari kiamat itu hanyalah akhir kehidupan dan babak akhirnya.
Orang-orang yang berpandangan seperti itu lupa bahwa ketika kiamat tiba, maka berakhirlah kehidupan yang fana dan dimulailah kehidupan yang abadi. Mempersiapkan diri untuk kedatangannya setiap saat berarti mengisi waktu dengan serius, mengisinya dengan kebaikan, menjadikannya bermakna, bernilai, dan tercerahkan.
Rasulullah Saw bersabda, “Ketika hari kiamat tiba, sementara salah seorang dari kalian memegang bibit pohon kurma, maka hendaklah dia menanamnya!” Artinya, amal dan harapan harus tetap ada dan seiring sejalan hingga di saat-saat terakhir yang sangat sulit sekalipun.
Seorang Badui bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Kapan hari kiamat terjadi?” Rasulullah Saw balik bertanya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?” Itulah pertanyaan yang sesungguhnya harus dijawab.........

Wallahu A’lam Bisshawwab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar