Fenomena Cinta Dunia Takut
Mati
Setiap manusia hidup
pasti akan mati. Tak ada seorang pun yang mengingkari hal ini. Malaikat maut
sang pencabut nyawa, tidak pandang bulu ketika mengambil nyawa manusia dari
jasadnya. Si kaya, si miskin, si mukmin maupun si kafir, muda atau tua, semua
akan ia datangi, sesuai dengan perintah Allah – subhanahu wa ta’ala -. Semua
akan dicabut nyawanya, tak peduli dengan suka atau terpaksa. Jika sudah
waktunya, tak ada yang bisa menangguhkan kematian meski hanya sedetik saja. Mungkin
ada yang hampir tak percaya, ketika ada pemain sepakbola tiba-tiba meninggal
saat sedang bermain bola di lapangan. Atau ketika seorang penceramah tiba-tiba
menghentikan ceramahnya karena maut telah menjemputnya tanpa permisi. Memang
begitulah maut. Tak ada yang tahu kapan ia akan menjemput.
Bagi seorang mukmin yang merindukan
kebahagiaan abadi di negeri akhirat, tentu ia akan berusaha berbekal
sebanyak-banyaknya, sehingga ia selalu siap kapan saja sang maut akan
menjemput. Ia selalu sadar jika kehidupan di dunia ini hanyalah fana. Semua
kenikmatan dunia akan ditinggalkan, begitu nyawa keluar dari badan.
Sebagaimana firman Allah – subhanahu wa ta’ala -,
Sebagaimana firman Allah – subhanahu wa ta’ala -,
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan.” (Ali Imran: 85)
Namun, sayang seribu sayang, seorang
mukmin yang demikian itu, saat ini semakin sulit ditemukan. Karena kebanyakan
kaum muslimin saat ini, terlihat lebih cinta dunia dan takut mati.
Fenomena ini begitu terasa, dan sangat
mudah dibuktikan. Begitu banyak kaum muslimin yang mengisi kehidupannya untuk
memburu dunia. Hanya kenikmatan dan pernik-pernik dunia yang ada di kepalanya,
hingga tanpa terasa ia telah melupakan akhiratnya. Gaya hidup mewah, glamour
dan berlebihan, kini semakin membudaya dalam kehidupan sebagian kaum muslimin.
Halal haram pun tak lagi diperhatikan, baik dalam makan minum, pergaulan dan
cara berpakaian. Bukan lagi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan
para sahabatnya yang dijadikan teladan dan panutan, melainkan para artis dan
selebritis yang tiap hari mereka lihat di televisi.
Mereka begitu mencintai dunia. Materi,
kedudukan, dan popularitas, begitu ramai diperebutkan. Bahkan anak-anak pun
telah diajari dengan gaya hidup demikian. Seorang muslim semakin jauh
dari Islam, dan tak lagi mengenal agamanya. Mereka tak punya waktu untuk
menuntut ilmu syar’i, atau beribadah sesuai sunnah. Maka sungguh benar sabda
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, “Akan terjadi masa dimana
umat-umat di luar Islam berkumpul di samping kalian wahai umat Islam,
sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan. Lalu seorang
sahabat bertanya, ‘Apakah kami pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘Tidak. Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi
kalian ketika itu bagaikan buih di lautan. Ketika itu Allah hilangkan dari
musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian, dan kalian tertimpa
penyakit wahn. Sahabat tadi bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah apa yang engkau
maksud dengan wahn itu?’ , Rasulullah menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati.’”
(Riwayat Abu Dawud)
Dunia sebagai Ujian
Sesungguhnya segala macam kenikmatan
dunia adalah ujian dari Allah – subhanahu wa ta’ala -, karena hampir setiap manusia
memiliki kecenderungan atau rasa suka terhadap hal-hal duniawi. Allah
berfirman,
“Dijadikan
indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali-Imran: 14)
Namun kemudian Allah menegaskan bahwa
semua kenikmatan tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenikmatan
di sisi-Nya, yaitu kenikmatan yang kekal abadi, bukan kenikmatan semu seperti
kenikmatan dunia ini, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”(al-Mukmin: 39)
Kenikmatan dunia itu bermacam-macam
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah – subhanahu wa ta’ala -.
Masing-masing mengandung nilai godaan dengan kapasitas yang berbeda-beda.
Wanita, harta dan anak-anak menempati posisi teratas sebagai bagian duniawi yang
paling menggoda. Allah telah memperingatkan tentang godaan tersebut dalam
firman-Nya,
“Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Begitulah dunia, tidak ada nilainya di
sisi Allah yang Maha Pencipta. Dan begitu pula seharusnya manusia
memandangnya.Karena itulah Allah melarang kita memandang dengan penuh
ketakjuban kepada manusia-manusia yang dianugerahi kenikmatan dunia.
Karena kelak mereka pun akan mati juga.
“Dan janganlah
kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami cobai
mereka dengannya, dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(Thaha: 131)
Akhirat Semestinya di Hatimu
Berbagai peringatan Allah – subhanahu wa
ta’ala – yang menyebutkan tentang godaan dunia itu, bukan berarti kita harus
melupakan sama sekali kehidupan dunia.
Allah berfirman,
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Penerapan dari konsep ini adalah ketika
seorang muslim menjadikan dunia di genggamannya, ia menguasainya. Bukan
sebaliknya, ia dikuasai oleh dunia. Cukuplah dunia tersebut berada di tangannya
tapi tidak pernah dia biarkan bersemayam di hatinya. Karena sesuatu yang kita
pegang tentu akan mudah untuk kita lepaskan jika ia sudah membahayakan.
Sebaliknya sesuatu yang sudah merasuk ke hati akan sulit untuk diangkat
darinya. Sejarah telah mencatat orang-orang seperti ini. Lihatlah Abu Bakar –
radhiyallahu ‘anhu -, Umar – radhiyallahu ‘anhu -, Abdurrahman bin Auf –
radhiyallahu ‘anhu -, mereka sangat mudah menginfakkan setengah hartanya bahkan
seluruh hartanya karena melihat ada keuntungan akhirat yang berlipat-lipat
ketika mereka menginvestasikan harta mereka tersebut di jalan Allah. Saat
mereka masih hidup di dunia, mereka menguasainya, namun jiwa dan cita-cita
mereka telah terbang melayang ke alam akhirat. Maka layaklah bila Allah –
subhanahu wa ta’ala – dan Rasul-Nya menjamin mereka dengan surga. Coba bandingkan sikap mereka terhadap dunia
dengan sikap sebagian dari kita, yang ketika kehilangan sedikit harta saja
seperti kehilangan dunia seisinya. Kita begitu takut kehilangan dunia, padahal
semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan kenikmatan di akhirat. Jika kita
terlalu mencintai dunia, Allah telah memperingatkan kita dengan
firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
(an-Nazi’at: 37-41)
Maka jadikanlah diri kita di dunia ini
seperti orang asing atau musafir yang tidak tinggal menetap. Gunakan masa
hidup kita untuk mengumpulkan perbekalan menuju ke kampung halaman, yaitu
negeri akhirat yang kekal. Semoga Allah – subhanahu wa ta’ala – menjauhkan kita
dari penyakit wahn, dan berkenan membukakan pintu surga bagi kita. Amiin........................................
Wallahu A’lam bisshawwab
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar