Rabu, 29 Mei 2013

** FENOMENA CINTA DUNIA TAKUT MATI **

                                                            Fenomena Cinta Dunia Takut Mati

             Setiap manusia hidup pasti akan mati. Tak ada seorang pun yang mengingkari hal ini. Malaikat maut sang pencabut nyawa, tidak pandang bulu ketika mengambil nyawa manusia dari jasadnya. Si kaya, si miskin, si mukmin maupun si kafir, muda atau tua, semua akan ia datangi, sesuai dengan perintah Allah – subhanahu wa ta’ala -. Semua akan dicabut nyawanya, tak peduli dengan suka atau terpaksa. Jika sudah waktunya, tak ada yang bisa menangguhkan kematian meski hanya sedetik saja.                                          Mungkin ada yang hampir tak percaya, ketika ada pemain sepakbola tiba-tiba meninggal saat sedang bermain bola di lapangan. Atau ketika seorang penceramah tiba-tiba menghentikan ceramahnya karena maut telah menjemputnya tanpa permisi. Memang begitulah maut. Tak ada yang tahu kapan ia akan menjemput.
Bagi seorang mukmin yang merindukan kebahagiaan abadi di negeri akhirat, tentu ia akan berusaha berbekal sebanyak-banyaknya, sehingga ia selalu siap kapan saja  sang maut akan menjemput. Ia selalu sadar jika kehidupan di dunia ini hanyalah fana. Semua kenikmatan dunia akan ditinggalkan, begitu nyawa keluar dari badan.
   Sebagaimana firman Allah – subhanahu wa ta’ala -,

 “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 85)
Namun, sayang seribu sayang, seorang mukmin yang demikian itu, saat ini semakin sulit ditemukan. Karena kebanyakan kaum muslimin saat ini, terlihat lebih cinta dunia dan takut mati.
Fenomena ini begitu terasa, dan sangat mudah dibuktikan. Begitu banyak kaum muslimin yang mengisi kehidupannya untuk memburu dunia. Hanya kenikmatan dan pernik-pernik dunia yang ada di kepalanya, hingga tanpa terasa ia telah melupakan akhiratnya. Gaya hidup mewah, glamour dan berlebihan, kini semakin membudaya dalam kehidupan sebagian kaum muslimin. Halal haram pun tak lagi diperhatikan, baik dalam makan minum, pergaulan dan cara berpakaian. Bukan lagi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan para sahabatnya yang dijadikan teladan dan panutan, melainkan para artis dan selebritis yang tiap hari mereka lihat di televisi.
Mereka begitu mencintai dunia. Materi, kedudukan, dan popularitas, begitu ramai diperebutkan. Bahkan anak-anak pun telah diajari  dengan gaya hidup demikian. Seorang muslim semakin jauh dari Islam, dan tak lagi mengenal agamanya. Mereka tak punya waktu untuk menuntut ilmu syar’i, atau beribadah sesuai sunnah. Maka sungguh benar sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,  “Akan terjadi masa dimana umat-umat di luar Islam berkumpul di samping kalian wahai umat Islam, sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan. Lalu seorang sahabat bertanya, ‘Apakah kami pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?’  Beliau menjawab, ‘Tidak. Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian ketika itu bagaikan buih di lautan. Ketika itu Allah hilangkan dari musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian, dan kalian tertimpa penyakit wahn. Sahabat tadi bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah apa yang engkau maksud dengan wahn itu?’ , Rasulullah menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati.’” (Riwayat Abu Dawud)
Dunia sebagai Ujian

Sesungguhnya segala macam kenikmatan dunia adalah ujian dari Allah – subhanahu wa ta’ala -, karena hampir setiap manusia memiliki kecenderungan atau rasa suka terhadap hal-hal duniawi. Allah berfirman,
 “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali-Imran: 14)
Namun kemudian Allah menegaskan bahwa semua kenikmatan tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenikmatan di sisi-Nya, yaitu kenikmatan yang kekal abadi, bukan kenikmatan semu seperti kenikmatan dunia ini, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”(al-Mukmin: 39)
Kenikmatan dunia itu bermacam-macam sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah – subhanahu wa ta’ala -.  Masing-masing mengandung nilai godaan dengan kapasitas yang berbeda-beda. Wanita, harta dan anak-anak menempati posisi teratas sebagai bagian duniawi yang paling menggoda. Allah telah memperingatkan tentang godaan tersebut dalam firman-Nya,
  “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Begitulah dunia, tidak ada nilainya di sisi Allah yang Maha Pencipta. Dan begitu pula seharusnya manusia memandangnya.Karena itulah Allah melarang kita memandang dengan penuh ketakjuban kepada manusia-manusia yang dianugerahi kenikmatan dunia.  Karena kelak mereka pun akan mati juga.
  “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami cobai mereka dengannya, dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)
Akhirat Semestinya di Hatimu    
Berbagai peringatan Allah – subhanahu wa ta’ala – yang menyebutkan tentang godaan dunia itu, bukan berarti kita harus melupakan sama sekali kehidupan dunia.
Allah berfirman,
  “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Penerapan dari konsep ini adalah ketika seorang muslim menjadikan dunia di genggamannya, ia menguasainya. Bukan sebaliknya, ia dikuasai oleh dunia. Cukuplah dunia tersebut berada di tangannya tapi tidak pernah dia biarkan bersemayam di hatinya. Karena sesuatu yang kita pegang tentu akan mudah untuk kita lepaskan jika ia sudah membahayakan. Sebaliknya sesuatu yang sudah merasuk ke hati akan sulit untuk diangkat darinya. Sejarah telah mencatat orang-orang seperti ini. Lihatlah Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu -, Umar – radhiyallahu ‘anhu -, Abdurrahman bin Auf – radhiyallahu ‘anhu -, mereka sangat mudah menginfakkan setengah hartanya bahkan seluruh hartanya karena melihat ada keuntungan akhirat yang berlipat-lipat ketika mereka menginvestasikan harta mereka tersebut di jalan Allah. Saat mereka masih hidup di dunia, mereka menguasainya, namun jiwa dan cita-cita mereka telah terbang melayang ke alam akhirat. Maka layaklah bila Allah – subhanahu wa ta’ala – dan Rasul-Nya menjamin mereka dengan surga.  Coba bandingkan sikap mereka terhadap dunia dengan sikap sebagian dari kita, yang ketika kehilangan sedikit harta saja seperti kehilangan dunia seisinya. Kita begitu takut kehilangan dunia, padahal semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan kenikmatan di akhirat. Jika kita terlalu mencintai dunia, Allah  telah memperingatkan kita dengan firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (an-Nazi’at: 37-41)
Maka jadikanlah diri kita di dunia ini seperti orang asing atau musafir yang  tidak tinggal menetap. Gunakan masa hidup kita untuk mengumpulkan perbekalan menuju ke kampung halaman, yaitu negeri akhirat yang kekal. Semoga Allah – subhanahu wa ta’ala – menjauhkan kita dari penyakit wahn, dan berkenan membukakan pintu surga bagi kita.   Amiin........................................
Wallahu A’lam bisshawwab !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar